Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [9]

7 Oktober 2022   22:51 Diperbarui: 7 Oktober 2022   22:53 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Ya."

"Dia memakai sari sehari-hari?"

"Tidak, Sayang." 

Thiru memarkir motornya di kawasan Little India. Jadi, kami harus ke sana. Kami berjalan ke mesin tiket MRT. Pada mesin berlapis kaca tampak peta lokasi dan nama halte dalam bahasa Inggris, Melayu, Tamil, Cina. Thiru memilih bahasa Tamil yang melingkar-lingkar. Tiket ke Little India seharga Sin$1.5. Thiru memasukkan uang kertas Sin$2,5 dan mesin mengembalikan koin satu dolar. Aku kagum melihat mesin pintar itu. Selama ini aku tak pernah menggunakan MRT di Singapura. Aku berada di sisi dunia yang lain bersama Thiru. 

Kami duduk bersisian di MRT. Aku memangku ransel. MRT berhenti tiga kali sebelum kami keluar di halte Little India. Kami melewati pasar tradisional yang bersih dan kering. Semua penjual dan pembeli berwajah India. Galland tergantung di mana-mana. Thiru menunjuk dan menyebutkan segala sesuatu seperti menjelaskan: daun dan pohon kari, drumstick vegetables, mangga India berwarna kuning cerah bintik-bintik hitam, tempat penggilingan bumbu, toko perhiasan imitasi. Thiru terlalu bergegas, membuatku beberapa kali berlari menyusulnya. Kamu lamban sekali, Miss Princess, kritik Thiru. Kamu menjelaskan segala sesuatu dan saya perlu melihat apa yang kamu katakan itu, jawabku. 

"Is it?" Thiru tersenyum. 

"Yes, Mister Perfect."

Pojok-pojok jalan berwarna-warni. Jalan dan trotoar dipenuhi penjual kaki lima. Nama jalan dua tulisan, berbahasa Latin dan huruf kanji India yang melingkar. Seperti nama-nama jalan Yogya. Bangunan-bangunan Belanda dan Melayu kuno terawat baik dan sebagian besar telah berubah fungsi menjadi restoran India, Cina, Melayu, vegetarian. Banyak pria duduk mengobrol di kedai-kedai minum beratap langit. Ke mana para perempuan? Apakah mereka bekerja sementara laki-laki mereka bersantai? 

Di Serangon Road Thiru mengajakku ke Mustafa Center. Kami berada di lantai pedagang emas. Perempuan India suka memakai perhiasan emas dengan ketebalan tertentu untuk menunjukkan prestise, ujar Thiru. Aku menimpali bahwa hal sama terjadi di Indonesia sebelum krisis ekonomi. Sekarang orang takut mengenakan perhiasan emas di tempat-tempat terbuka. Sudut-sudut toko dikerumuni perempuan India bertubuh besar dan berpakaian sari warna-warni, rambut hitam panjang berjalin, antusias mematut diri di cermin besar dengan emas-emas yang mereka taksir. Seorang ibu tinggi besar mencoba satu kalung tebal yang panjangnya menjuntai hingga perut. Lehernya pasti akan menderita menanggung beban emas itu nanti. 

"Apakah kau mau perhiasan? Aku belikan untukmu," bisik Thiru dengan wajah tersipu, menatapku penuh harap.

"Emas? Tidak, Thiru. Aku tak perlu emas."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun