Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [7]

6 Oktober 2022   18:34 Diperbarui: 6 Oktober 2022   18:58 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pagi aku bangun dan merasa riang. Aku melebarkan senyum melihat Thiru dan veti-nya masih menjadi satu, dan sebuah buku kecil di tangan kirinya. Dia menoleh, memandangku.

"Kamu nggak tidur?" godaku, garing. 

"Kamu menangis semalam?" balasnya, lembut. 

"Nggak," elakku. 

"Jangan tutupi perasaanmu, Sayang. Aku bikin kamu menangis. Maaf," katanya, sepasang matanya menetap di mataku, lama, menjelaskan apa yang dikatakannya tulus. Aku mengembangkan senyum seperti mawar merekah di pagi hari, menggeleng sekali seperti penari India. Kata maaf itu keajaiban. Rasa cinta tumbuh dalam detik sama di darahku.     

Perlahan aku mendekatinya, wajahku menuju wajahnya, meneliti sorot matanya beberapa waktu, sebelum menekan bibirku ke bibirnya, selama dua detik, dengan takzim. Mendadak dia menarik tubuhnya mundur, mendorongku menjauh. Sepasang matanya menghujaniku dengan sinar sinis, dan keempat jemari tangan kanannya mengusap bibirnya, memberitahuku bahwa ia menghapus jejak bibirku di bibirnya. Sangat tidak beradab, batinku dongkol. Tetapi sekarang tindakan itu tak lagi menyakitkanku. Aku mulai terbiasa. Sudah seharusnya aku terlatih tak lagi kaget dengan sikap yang tak kompromistis itu.  

"Kasar!" ucapku dengan nada bersahabat, menekuk leher dalam-dalam untuk menangkap judul buku di tangannya. The God of Small Things. Arundhati Roy. Jantungku berdentum, sekali, menyergap matanya penuh kagum, sementara, lagi-lagi, dia memandangku dengan tatapan bermusuhan, mendesis, "Mandi dulu sebelum kau melakukannya. Dan kau tidak boleh melakukan itu lagi, Young Lady, berharap aku sebatang kayu yang tak punya perasaan!" 

Nah, itu lagi. Padahal aku lupa sudah perkara bibir. Itu tidak penting lagi sejak benakku riang memikirkan laki-laki teknik membaca novel.  

"Kamu membaca novel?" tanyaku tersenyum, berusaha santai untuk memberi kesanaku mengagumi tindakannya. 

"What do you expect? Apa salahnya?" nadanya curiga, melebarkan kedua tangan, dahi mengernyit dalam.

"Kenapa kamu negatif menanggapiku? Tentu tidak salah. Aku hanya tak menyangka kamu membaca buku-buku seperti itu," jelasku dengan suara rendah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun