Pagi baru saja menunjukan pukul Sembilan. Namun, panas sudah sangat menyengat, saya yang baru dua hari di kota Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo merasakan panas yang sangat. Kemarin, saya ke Mouponggo, kota kecil di pesisir laut di balik Gunung Abolobo di kecamatan Boawae. Mouponggo udaranya cukup nyaman, saya rasa, hal itu, disebabkan karena daerah Mouponggo berada dikaki Gunung Abolobo. Berbeda sekali dengan kondisi Mbay pagi itu.
Jadilah perjalanan pagi itu, kami menyusuri jalan arah utara. Menyusur daerah subur yang dipenuhi dengan tanah persawahan.  Tanah persawahan yang airnya berasal dari Bendung Sutami Mbay. Saya seakan terbawa pada suasana Pantura di Pulau Jawa dengan areal persawahan luas nan  datar, yang membedakannya, hanya udara yang menyengat. Matahari yang mencorong di atas sana, sangat jagoan, tanpa awan yang menghalanginya.
Lalu, lanjut ke daerah Aloripit dengan persawahannya yang luas. Demikian juga dengan Daerah Nila, juga dengan sawah-sawahnya. Sayang daerah subur ini, hanya ditanam padi. Untuk sayuran dan lainnya masih didatangkan dari Bima. Kalau saja, petani mau mampu mengkonversi  tanamannya, tentu tak perlu mendatangkan sayuran dari Bima.Â
Selanjutnya, perjalanan bergerak ke daeah Tonggu Ramba, daerah ini, memiliki Bandara kecil, yang dibangun sejak zaman Jepang. Bandara dengan landasan masih dengan tanah itu, sayangnya, kini sudah tidak digunakan lagi. Terakhir kali digunakan ketika membawa mentri PU Sutami untuk meresmikan Bendung Sutami tahun 1975. Sudah lama sekali.
Selepas dari Pelabuhan Maropokot, perjalanan menuju  TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan Pasar Nangadhero.Pada TPI tak terlihat aktivitas, hanya beberapa warung kopi saja yang masih buka, selanjutnya tak terlihat aktivitas. Demikian juga dengan Pasar Nangadhero. Terlihat sepi saja. Ini bukan hari pasaran Bang. Jelas sang adik, melihat ekspresi wajah saya yang bingung melihat pasar kosong. Hanya ada empat orang ibu-ibu yang menjajakan dagangannya pada meja-meja dagangan. Padahal pasar Nangadhero cukup baik. Rapi dan bersih. Di bangun dengan konsep pasar bersih. Sehingga pasar yang berlantai keramik itu, akan bebas dari becek.Â
Sang Adik, menawarkan saya untuk melihat Goa Jepang. Sebuah ajakan yang membuat tanda tanya besar. Â Adakah Goa Jepang di sini? Bukankah yang saya tahu Goa Jepang ada di Kupang dan itu, membutuhkan 50 menit perjalanan dengan pesawat dari posisi saya saat ini. Dengan modal rasa penasaran itu saya segera meng-iya-kan ajakan untuk melihat Goa Jepang di Kabupaten Nagekeo ini.
Lalu, perjalanan dilanjutkan, di kanan jalan ada gunung batu yang kering, artinya, gunung batu hanya ditumbuhi semak-belukar atau ada juga yang hanya ditumbuhi rumput. Kesannya sangat gersang, Â jalan provinsi yang kami lalui itu, hampir seluruhnya di kaki bukit gersang.Â
Beruntung saya bertemu dengan kambing gunung, kambing yang dengan lincahnya berpindah dari batu yang besar ke batu besar lainnya.Â