Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjelajahi Situs Gua Jepang Rane, Mbay di Flores

29 Juli 2016   09:02 Diperbarui: 29 Juli 2016   13:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Goa Akisato yang kepemilikan tanahnya masih menjadi milik suku (dok. Pribadi)

Pagi baru saja menunjukan pukul Sembilan. Namun, panas sudah sangat menyengat, saya yang baru dua hari di kota Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo merasakan panas yang sangat. Kemarin, saya ke Mouponggo, kota kecil di pesisir laut di balik Gunung Abolobo di kecamatan Boawae. Mouponggo udaranya cukup nyaman, saya rasa, hal itu, disebabkan karena daerah Mouponggo berada dikaki Gunung Abolobo. Berbeda sekali dengan kondisi Mbay pagi itu.

Penulis di depan Plank Nama Goa Jepang Rane. (dok.Pribadi)
Penulis di depan Plank Nama Goa Jepang Rane. (dok.Pribadi)
Baru saja mau pergi keluar, sang adik datang dengan senyum khasnya, mengajak saya jalan. Kemana? Tanya saya. Jalan saja, lihat-lihat Mbay, demikian jawabnya. 

Jadilah perjalanan pagi itu, kami menyusuri jalan arah utara. Menyusur daerah subur yang dipenuhi dengan tanah persawahan.  Tanah persawahan yang airnya berasal dari Bendung Sutami Mbay. Saya seakan terbawa pada suasana Pantura di Pulau Jawa dengan areal persawahan luas nan  datar, yang membedakannya, hanya udara yang menyengat. Matahari yang mencorong di atas sana, sangat jagoan, tanpa awan yang menghalanginya.

Goa Jepang Rane di bawah Kementrian Pendidikan, kebudayaan dan Pariwisata. (dok.Pribadi)
Goa Jepang Rane di bawah Kementrian Pendidikan, kebudayaan dan Pariwisata. (dok.Pribadi)
Perjalanan kami di mulai dari daerah Danga, daerah ini, dominan penduduk muslimnya Bang, demikian kata sang adik, bak seorang guide memberikan keterangan pada saya, dalam hati saya mempercayainya, sebagai bukti ada sekolah bernapaskan Islam disini, ada sekolah Ibtidayah, Tsanawiyah dan Aliyah Negri yang berada dalam satu komplek besar. Sekolah-sekolah tersebut hanya dipisahkan dengan pagar pembatas saja.

Lalu, lanjut ke daerah Aloripit dengan persawahannya yang luas. Demikian juga dengan Daerah Nila, juga dengan sawah-sawahnya. Sayang daerah subur ini, hanya ditanam padi. Untuk sayuran dan lainnya masih didatangkan dari Bima. Kalau saja, petani mau mampu mengkonversi  tanamannya, tentu tak perlu mendatangkan sayuran dari Bima. 

Selanjutnya, perjalanan bergerak ke daeah Tonggu Ramba, daerah ini, memiliki Bandara kecil, yang dibangun sejak zaman Jepang. Bandara dengan landasan masih dengan tanah itu, sayangnya, kini sudah tidak digunakan lagi. Terakhir kali digunakan ketika membawa mentri PU Sutami untuk meresmikan Bendung Sutami tahun 1975. Sudah lama sekali.

Salah satu pintu masuk Goa Rane (dok. Pribadi)
Salah satu pintu masuk Goa Rane (dok. Pribadi)
Perjalanan masih diteruskan, hingga akhirnya kami tiba di Pelabuhan laut Marapokot. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai Pelabuhan Surabaya II. Secara tekhnis saya lihat memang cukup baik, luas dan modern. Beberapa peti kemas ada di areal Pelabuhan. Sayang Dermaga laut yang dibangun dengan biaya mahal, modern dan sangat potensial untuk memajukan  kabupatenNagekeo ini. Tidak selalu disinggahi kapal. Siang itu, tak  ada kapal yang singgah. Hanya beberapa orangyang sedang menghabiskan waktunya, terlihat sedang memancing di Dermaga laut yang indah dan kosong itu.

Selepas dari Pelabuhan Maropokot, perjalanan menuju  TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan Pasar Nangadhero.Pada TPI tak terlihat aktivitas, hanya beberapa warung kopi saja yang masih buka, selanjutnya tak terlihat aktivitas. Demikian juga dengan Pasar Nangadhero. Terlihat sepi saja. Ini bukan hari pasaran Bang. Jelas sang adik, melihat ekspresi wajah saya yang bingung melihat pasar kosong. Hanya ada empat orang ibu-ibu yang menjajakan dagangannya pada meja-meja dagangan. Padahal pasar Nangadhero cukup baik. Rapi dan bersih. Di bangun dengan konsep pasar bersih. Sehingga pasar yang berlantai keramik itu, akan bebas dari becek. 

Sang Adik, menawarkan saya untuk melihat Goa Jepang. Sebuah ajakan yang membuat tanda tanya besar.  Adakah Goa Jepang di sini? Bukankah yang saya tahu Goa Jepang ada di Kupang dan itu, membutuhkan 50 menit perjalanan dengan pesawat dari posisi saya saat ini. Dengan modal rasa penasaran itu saya segera meng-iya-kan ajakan untuk melihat Goa Jepang di Kabupaten Nagekeo ini.

Lalu, perjalanan dilanjutkan, di kanan jalan ada gunung batu yang kering, artinya, gunung batu hanya ditumbuhi semak-belukar atau ada juga yang hanya ditumbuhi rumput. Kesannya sangat gersang,  jalan provinsi yang kami lalui itu, hampir seluruhnya di kaki bukit gersang. 

Beruntung saya bertemu dengan kambing gunung, kambing yang dengan lincahnya berpindah dari batu yang besar ke batu besar lainnya. 

Jalan menuju Goa Rane (dok. Pribadi)
Jalan menuju Goa Rane (dok. Pribadi)
Tak berapa lama, tibalah kami di Ratedosa, desa Aeramo. Lokasi Goa Jepang yang kami tuju.  Situs Goa Jepang ini, berada pada sebuah bukit batu. Cukup luas arealnya, ada beberapa jalan untuk memasuki Goa Jepang Rane, karena memang, Goa Jepang Rane memiliki beberapa pintu masuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun