Berkali-kali Hanif melirik ke arah Elsa, istrinya, yang sedari tadi tetap melingkarkan tangannya di atas perut Hanif. Tapi tampaknya memang Elsa sudah tertidur pulas. Hanif terus memandangi wajah Elsa yang meskipun selalu kelelahan tetapi tetap tersenyum. Tak pernah sekalipun  ia menampakkan wajah cemberut, marah, kesal, ataupun lelah di depan mata suami dan kedua anaknya, Bita yang baru genap tujuh tahun dan Ivan yang baru masuk PAUD.
Sebagai seorang pegawai negeri yang menjabat sebagai Kasubag, hampir setiap hari Elsa pulang menjelang mahrib. Kedua anaknya akan selalu memeluk Bundanya dan berseru, "kangeeen...". Kalau sudah begitu, Elsa pasti langsung menciumi kedua anaknya tersebut yang telah ditinggalkan seharian untuk mencari nafkah. Dan Elsa akan menghabiskan quality time bersama mereka.
 Setelah sholat berjamaah, mereka akan mengaji bersama, makan malam, sholat isya, mendampingi mereka belajar, hingga menemani mereka di kamar sampai keduanya terlelap. Setelah itu, barulah giliran Hanif. Mereka akan bercerita apa saja tentang kejadian hari itu di kantor ataupun membahas perkembangan kedua buah hatinya sambil tiduran di kasur hingga salah satu tak kuat menahan kantuk.
Tapi malam ini Hanif sangat kikuk saat menceritakan kejadian hari itu. Ada sebuah kejadian yang disembunyikan oleh Hanif dan tidak diceritakan pada istrinya.
"Tadi Ayah nengok Pak Sardi di rumah sakit, Bun." Hanif memulai pembicaraan
"Darah tingginya kumat lagi, Yah?"
"Iya Bun. Kemarin Pak Yahya sudah menyarankan beliau untuk istirahat dulu tapi beliau tidak mau. Pak Sardi itu kan pekerja keras, Bun. Katanya dia tidak mau makan gaji buta."
"Tapi kan harus jaga kesehatan juga, Yah."
"Iya sih. Ya begitulah dia itu Bun."
"Sama siapa tadi?" Hanif terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Elsa.
"Teman kantor Ayah...." jawab Hanif mengambang.