Aku memberi aba, tapi roda depan terganjal batu. Posisi ban persis di depan batu yang cukup besar, terus berputar cepat, tapi tidak bisa melampaui batu. Jadi roda berputar cepat sekali, tapi tidak bergerak maju. Kalau aku menyebutnya kepater. Mirip saat naik di tanjakan Sakura Hill. Saat itu Om Kelik yang menggantikan nyetir, sehingga bisa sukses sampai di atas.
Kali ini di belakang ada beberapa peserta, tapi tidak ada yang kenal. Tapi mereka segera turun dari kendaraan dan mencoba membantu. Mereka berusaha mendorong.
"Pak, katanya mobil matic tidak boleh didorong?" Kataku. Itu pesan suami, kalau aku tidak bilang, bisa-bisa aku yang diumpat habis-habisan.
"Tidak apa-apa, Bu kalau sambil dihidupkan mesinnya."
"O, ya sudah!" Akupun ikut bergabung mendorong bersama beberapa peserta. Alhamdulillah, batu besar itu bisa dilewati. Tapi tidak berhenti di situ, karena medan ekstrem seperti itu masih beberapa ratus meter. Tapi suami mulai bisa mengatasi dengan mundur dulu, dan mencari celah yang tidak berbatu, relatif rata, atau batunya yang tidak terlalu besar.
Akupun sudah tidak ragu untuk mendorong meski sendiri, karena peserta yang lain sudah lewat mendahului.Â
Akhirnya jalur ekstrem itu terlewati. Kami berhenti sejenak di warung kopi yang berada tepat di atas tikungan yang menanjak. Mengatur nafas dan mengembalikan mental yang sempat terhempas dan insecure.
Sayangnya aku tidak sempat merekam saat melewati jalur ekstrem karena nervous. Bahkan hampir putus asa. Terus maju terasa berat nyaris mustahil. Kalau berbalik lebih ruwet karena melawan arus di jalan sempit penuh tanjakan, turunan dan tikungan tentunya lebih berbahaya.
Jalur selanjutnya masih jalur berbatu dan menanjak, tapi batunya tidak terlalu besar dan tanahnya kering. Jadi masih relatif mudah dan aman.
Seperti nya tidak seekstrem jalur yang tadi, jadi kita bismillah saja.