Arus balik 2024 telah usai, dan lalu lintas sudah kembali normal. Tapi ada memori yang tertinggal. Manis dan cantiknya dawet Ireng di pinggir jalan Demangan, kampung halaman Purworejo masih menyisakan kenangan yang terpatri dalam memori.
Kenapa arus balik 2024 dan dawet Ireng berkaitan?
Ini karena dawet Ireng ini mangkal di pinggir jalan menjelang perempatan Demangan, Banyuurip Purworejo. Otomatis berada di sekitar lampu merah yang biasa menyimpan kemacetan saat arus mudik 2024 yang telah lalu.
Beruntung kemacetan arus balik 2024 yang telah lalu tidak terlalu parah, sehingga para pemudik yang kembali ke tempat perantauan tidak terlalu tersiksa oleh kondisi perjalanan.
Tapi tentunya, jika lewat jalan ini dan terjebak kemacetan, bisa sejenak memarkir kendaraan dan mampir untuk menikmati semangkok dawet Ireng yang mangkal di tepi jalan, dengan pemandangan persawahan yang mulai menguning menebar aura kedamaian dan kebahagiaan.
Sementara angin sepoi, bertiup dan mengelus manja mengalir kan kesejukan saat duduk di lapak dawet sambil menikmati manisnya juruh dawet dari gula aren asli yang juga mudah ditemukan di daerah Purworejo.
"Dawetnya 10 bungkus, Mas. Yang 3 diminum di sini!" Ayah memesan dawet, sementara aku dan Budhe  duduk di bangku yang melengkapi meja di tepi jalan Demangan. Pakde menunggu di mobil karena nggak suka dawet, apalagi yang dikasih es.
"Silakan duduk dulu, Pak!" Mas Jono, sebut saja namanya begitu, mempersilakan kami duduk sambil menunggunya meracik dawet.
Dawet Ireng yang biasanya dicari adalah dawet Ireng yang membuka lapak di halaman kantor pos Purworejo. Halaman yang dimanfaatkan untuk lapak-lapak UMKM. Tapi di sana antreannya panjang, bisa-bisa sampai ashar baru terlayani. Lokasinya juga jauh dari rumah. Kalau di sini, tempatnya terlewati, kami baru saja nyekar dari tempat Mbah Buyut. Sudah dekat rumah sebenarnya, tapi lapak penjual dawet Ireng ini sangat eye catching dan mengundang penasaran.
Tak lama ada perempuan cantik datang membawa termos es besar. Ternyata dia istri Mas Jono yang mau menambah persediaan dawetnya dari tempat Mas Jono, karena jualannya di sebelah barat sana telah habis. Jadi ditambahnya dari stok Mas Jono yang masih ada.
Luar biasa, siang itu cuaca memang cerah dan gerah, tak heran kalau banyak yang membeli es, termasuk dawet. Apalagi banyak pemudik yang ingin menikmati dawet Ireng, minuman khas yang viral ke seantero bumi. Eh ..
"Sehari biasanya habis berapa mangkok, Mas?" Tanya saya kepo.
"Sekitar 50 sampai 100 mangkok, Bu. Bisa lebih bisa kurang. Yang namanya orang dagang, nggak mesti!" Jawab Mas Jono.
"Sudah lama jualan dawet, Mas?"
"Kira-kira 2 tahun, Bu. Tadinya bapak yang jualan, ternyata laris. Jadi saya ikut jualan."
"Bapaknya jualan di mana?"
"Di angkruk kethip, Bu . Selatan sanaÂ
"O, iya. Tadi saya lewat dari sana, habis dari pantai!"
"Pantai Glagah, Bu?"
"Bukan! Pantai Dewa Ruci, Jatimalang."
"O,ya!"
"Yang tadi itu istrinya, Mas? Jualan dawet juga?"
"Iya, Bu. Di barat sana. Jalan ke arah selatan, menuju Banyuurip."
"O,iya. Tadi sekilas seperti nya sempat membaca dawet Ireng juga!"
Tak lama Mas Jono melayani kami dengan mangkok dawet nya. Dawet yang dibandrol 7 ribu /mangkok ini tampilannya cantik, dengan cendol pendek agak bulat berwarna hitam. Sirupnya coklat pekat, dari gula aren asli, sehingga rasa dan aromanya unik dan khas.Â
Sebenarnya, ada dawet Purworejo sangat khas yang sekarang susah ditemui. Waktu saya masih kecil, ada penjual dawet pikul, namanya Lek Girun. Datangnya kalau pas panen padi saja, beli dawetnya dengan cara ngurup.Â
Ngurup adalah membeli tapi dengan menukar atau barter dawet dengan seikat kecil padi. Di samping cara membeli yang unik, dawet yang ditawarkan juga unik dan khas.Â
Dawet ini dijual tanpa es, sehingga rasanya tetap tidak berubah oleh tambahan air es. Dawetnya tanpa santan, tapi terdiri dari cendol putih dari tepung Garut,atau bisa juga tepung kanji.Â
Sirupnya dari nira yang baru saja disadap dari pohon aren atau pohon kelapa, kemudian dimasak sampai mendidih dan berwarna coklat, kemudian dicampur dengan cendol, dan ditambah air matang sesuai rasa manis yang diinginkan. Jadi dawetnya tidak diracik per mangkok, tapi sudah bisa langsung diciduk ke mangkok dan siap dinikmati. Biasanya dibawa dalam 2 kuali besar yang dipikul.
Sayangnya dawet seperti ini sudah sulit, bahkan tidak bisa ditemukan di masa sekarang. Padahal masih terbayang keunikan rasa dawet ini, yang dulu terkenal sebagai dawet Semagung, Lek Girun.
"Sudah, Mas!" Ayah mengagetkan aku yang sedang asyik bernostalgia dengan perdawetan.
Aku cepat-cepat menghabiskan dawet yang masih tersisa. Ternyata Mas Jono berasal dari Grantung, kecamatan Bayan. Lumayan jauh dari sini. Tapi tentunya menyenangkan karena dawetnya laris diminati pembeli.
Terima kasih.
Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada salah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI