Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghadap Gereja, Menghadap Masjid

15 November 2023   15:05 Diperbarui: 15 November 2023   15:25 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Ibadah berdampingan, hendaknya makin mempertebal kerukunan. Foto: Isson Khairul

Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan.
Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera nampak di depan kita sebuah gereja tua.

Gereja Usia 20 Tahun

Opening sajak Meditasi itu, langsung melintas dalam ingatan. Abdul Hadi Wiji Muthari menulisnya tahun 1974. Bait-bait sajak itu terus melintasi ingatan, tatkala Senin, 6 November 2023 lalu, saya menyusuri Jalan Mentawai I.

Mentawai? Itu bukan nama yang asing buat saya yang lahir di Provinsi Sumatera Barat. Mentawai adalah sebuah Kabupaten di provinsi tersebut. Kabupaten itu terdiri dari lebih 70 pulau, berjarak sekitar 100 mil dari Sumatera Barat, yang berada di Pulau Sumatera.

Adalah August Lett, misionaris pertama yang menginjakkan kaki di bumi Mentawai, pada tahun 1901. Ia tiba dari arah pantai selatan Pagai Utara. Kita tahu, Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut adalah empat pulau utama di Kabupaten Mentawai.

Ketika August Lett tiba, penduduk Mentawai pada masa itu menganut kepercayaan yang disebut Arat Sabulungan. Mereka percaya bahwa segala sesuatu memiliki ruh dan jiwa. Mereka sudah bermukim di Mentawai, sejak 2000--500 Sebelum Masehi.

Jalan Mentawai I yang saya susuri pada Senin malam itu, bukan di Provinsi Sumatera Barat. Tapi, di Kota Solo, Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya, di Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari. Tak lama melangkah, saya sudah berhadapan dengan GPIA Sola Gratia, Gereja Pantekosta Isa Almasih Sola Gratia.

Bangunan ibadah bercat putih itu, seolah menegaskan sebuah gereja tua, sebagaimana dinarasikan sajak Meditasi di atas. Ya, memang sebuah gereja tua. Pendeta Muda GPIA Sola Gratia, Yusuf Barnabas, pernah menuturkan, GPIA Sola Gratia pada mulanya adalah gereja di selatan Terminal Tipe A Tirtonadi, Solo.

Selama lima tahun, gereja tersebut menjadi rumah ibadah warga yang bermukim di sekitar Terminal Tipe A Tirtonadi dan warga Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo. Kemudian, gereja tersebut pindah lokasi ke Jalan Mentawai I No. 29, Kelurahan Gilingan.  

Pembangunannya dimulai awal tahun 2002 dan digunakan sebagai rumah ibadah sejak tahun 2003. Artinya, GPIA Sola Gratia tersebut sudah ada sejak 20 tahun yang lalu. Pendeta Muda GPIA Sola Gratia, Yusuf Barnabas, menyebut, kini jumlah jemaat gereja itu sekitar 200 orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun