Malam mulai beranjak larut pada Sabtu (31/08/2019) itu. Kita berdua memilih sebuah kedai kopi sebagai tempat ngobrol. Saya minum kopi dan kau minum teh. Dari lantai dua kedai kopi itu, kita leluasa memandang cahaya di salah satu sisi Kota Bogor. Hawa malam itu sejuk, sepertinya embun sudah mulai turun bersama angin. Dedaunan di sekitar kita, dari sejumlah pot bunga dekat kita, bergetar perlahan.
Kau bercerita tentang progres buku keroyokan Kompasianer yang tengah dikerjakan. Judul buku itu Belajarlah Indonesia. Ada 40 Kompasianer yang menulis di buku tersebut. Sebagian naskah sudah masuk, sebagian lagi masih dalam proses ditulis. Pada awalnya, buku itu akan kita terbitkan untuk menyambut Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke-74, pada Sabtu (17/08/2019).
Tapi, karena sesuatu dan lain hal, itu tidak mungkin. Kemudian, kita sepakat untuk menerbitkannya pada Senin (28/10/2019) untuk menyambut Hari Sumpah Pemuda. Konteks buku itu relevan, karena Indonesia akan menyongsong bonus demografi, yang akan terjadi di rentang tahun 2030 hingga tahun 2045.
Pada periode itu, diprediksi 70 persen populasi Indonesia merupakan penduduk usia produktif. Bahkan, pada tahun 2045, penduduk Indonesia diprediksi mencapai 321 juta jiwa. Silakan hitung, betapa banyaknya generasi produktif kita di rentang tahun tersebut. Buku Belajarlah Indonesia yang sedang kita kerjakan itu, barangkali bisa menjadi salah satu bekal.
Bekal? Iya, karena 40 Kompasianer yang menulis di buku tersebut, menuliskan tentang berbagai potensi bangsa ini, yang patut kita pelajari bersama. Ke-40 Kompasianer itu menunjukkan, bahwa banyak hal hebat yang sudah dilakukan oleh anak bangsa selama ini. Itu bisa menjadi inspirasi untuk generasi kini dan generasi mendatang, demi meraih kemajuan bangsa.
Obrolan kita kian seru. Malam kian beranjak larut. Tanpa terasa, penanggalan Sabtu (31/08/2019) hampir berganti. Ini memang sudah menjadi habit kita bertahun-tahun, ngobrol dan diskusi hingga larut malam. Untuk orang yang sudah berumur seperti kita, mungkin ini bukan habit yang baik. Tapi, seperti yang kerap kau tuturkan: kita makin malam, justru makin kreatif.
Ketika hari sudah berganti menjadi Minggu (01/09/2019), kita baru tiba di rumah masing-masing. Saya di Jakarta dan kau di Bekasi. Malam sudah berlalu, itu sudah menjelang subuh. Kau langsung ke masjid untuk shalat subuh berjamaah, saya pun demikian. Setelah itu, kita masing-masing kembali ke rumah, merebahkan badan, meski syaraf di kepala masih terus berkreasi.
Sepanjang Minggu (01/09/2019), kita nyaris tak berkabar. Kata orang, weekend adalah hari keluarga. Hahahaha kita sering menertawakan kata orang tersebut, karena kita kerap menjadi pemateri workshop menulis justru pada Sabtu-Minggu. Dengan kata lain, berkali weekend kita justru tidak bersama-sama dengan keluarga. Kita asyik mengeksplorasi kata-kata dengan para peserta workshop menulis di berbagai kota.
Senin (02/09/2019) pagi, pukul 10.20 WIB, kau berkabar via WhatsApp, bahwa Amarzan Loebis meninggal. Saya tentu saja terkejut dan berduka. Saya tahu, kau cukup lama berkarib dengan jurnalis senior Majalah TEMPO itu. Saya pun pernah kau ajak beberapa kali berguru tentang jurnalistik kepada sosok yang bernama lengkap Amarzan Ismail Hamid tersebut.
Namun, hari itu, saya sedang ada urusan lain. Saya mohon maaf, karena saya tidak bisa menemanimu melayat Amarzan Loebis. Saya merasa, kau ingin kita bertemu sekalian melayat, untuk melanjutkan diskusi tentang buku Belajarlah Indonesia yang sedang kita kerjakan. Kemudian, pada pukul 15.19 WIB, kau mengirimkan foto karangan bunga duka cita dari Goenawan Mohamad untuk Amarzan Loebis.