Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kebiri Kimia: Perppu Jokowi Mei 2016, Disahkan DPR Oktober 2016

27 Agustus 2019   16:27 Diperbarui: 27 Agustus 2019   16:40 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemuda dari Dusun Mengelo itu, memperkosa 9 anak. Ia kemudian dijatuhi hukuman kebiri kimia. Ikatan Dokter Indonesia menolak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut, hukuman kebiri melanggar HAM. Padahal, Perppu kebiri tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Mei 2016 dan disahkan DPR menjadi UU pada Oktober 2016. Hukuman kebiri kimia akan kandas?

Perkosa 9 Anak Sejak Tahun 2015 
Mari kita kenali pemuda dari Dusun Mengelo itu. Namanya Muhammad Aris, usianya 20 tahun. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang las. Dusun Mengelo berada di Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tiap pulang kerja, Muhammad Aris selalu mencari mangsa untuk diperkosa, sasarannya adalah anak-anak. Perbuatan biadab itu sudah ia lakukan sejak tahun 2015.

Pada Kamis (25/10/2018) sekitar pukul 16.30 WIB, Muhammad Aris melakukan aksi biadab di satu tempat di perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Aksi itu terekam oleh salah satu kamera CCTV yang ada di perumahan tersebut. Warga setempat langsung geger. Esoknya, pada Jumat (26/10/2018), Muhammad Aris diamankan polisi dari Polres Mojokerto Kota.

Sejak itu, Muhammad Aris menjalani proses hukum atas perbuatannya. Di persidangan terbukti, ada 9 orang anak yang sudah menjadi korban aksi biadabnya. Pada Kamis (02/05/2019), Pengadilan Negeri  Mojokerto memvonis Muhammad Aris dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Joko Waluyo selaku Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri  Mojokerto, juga menjatuhkan hukuman tambahan kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Syarief Simatupang selaku Jaksa Penuntut Umum, menuntut Muhammad Aris dengan hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Syarief Simatupang tidak menyertakan hukuman kebiri kimia dalam tuntutannya.   

Secara hukuman penjara, Joko Waluyo memvonis Muhammad Aris lebih rendah 5 tahun, dari tuntutan Syarief Simatupang. Tapi, Joko Waluyo menjatuhkan hukuman tambahan kebiri kimia. Handoyo selaku Kuasa Hukum Muhammad Aris, mengajukan banding. Kemudian, pada Kamis (18/07/2019), Pengadilan Tinggi Surabaya menjatuhkan keputusan: hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan, dan hukuman kebiri kimia.

Luput dari Komnas HAM
Dengan sudah jatuhnya putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut, artinya proses hukum Muhammad Aris, sudah inkrah. Selanjutnya adalah tahap eksekusi hukuman. Kita tahu, hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris sedang menjadi perdebatan publik di hari-hari ini. Choirul Anam selaku Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bereaksi pada Senin (26/08/2019).

Menurut Choirul Anam, dalam konteks hak asasi manusia, hukuman kebiri kimia enggak boleh. Itu hukuman fisik, apalagi sampai permanen. Itu menyalahi konvensi antipenyiksaan, yang sudah diratifikasi Indonesia sebagai Undang-Undang. "Kita bukan negara yang barbar, bangsa kita beradab," ujar Choirul Anam kepada media di Kantor LBH Surabaya, Jalan Kidal, Tambaksari.

Dari penelusuran saya, hukuman kebiri kimia diakomodasi sebagai hukuman yang bisa dieksekusi di Indonesia, setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Mei 2016 dan disahkan DPR menjadi UU pada Oktober 2016.

Nah, jika kebiri kimia tersebut dinilai menyalahi konvensi antipenyiksaan, kenapa Komnas HAM baru bereaksi sekarang? Padahal, konvensi antipenyiksaan itu diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Kemudian, Indonesia turut meratifikasi konvensi tersebut, pada tanggal 28 September 1998 melalui UU No. 5 tahun 1998.

Ketua Komnas HAM pada tahun 2016 adalah Imdadun Rahmat. Seharusnya, sebelum Perppu tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Mei 2016, Komnas HAM memberikan masukan tentang konvensi antipenyiksaan itu. Dengan demikian, benturan konvensi antipenyiksaan dengan Perppu yang dimaksud, bisa diminimalkan.

Kalaupun sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo, masih ada rentang waktu yang cukup dari Mei 2016 hingga Oktober 2016, sebelum disahkan DPR menjadi UU. Ini menjadi indikator, betapa Komnas HAM tidak pro-aktif, ketika Perppu tersebut diproses menjadi UU. Padahal, UU Perlindungan Anak adalah UU yang sangat sensitif, yang seharusnya menjadi perhatian penuh para pemangku kepentingan, termasuk Komnas HAM.

IDI Konsisten Menolak
Reaksi Choirul Anam selaku Komisioner Komnas HAM pada Senin (26/08/2019) itu, berlanjut dengan reaksi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada Selasa (27/08/2019). Intinya, PB IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual. Alasannya, kebiri kimia bukan bentuk pelayanan medis, bahkan berpotensi terjadi konflik norma.

Itu diungkapkan dengan tegas oleh Ketua Umum PB IDI, Daeng M. Faqih. Sikap PB IDI ini, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Dari penelusuran saya, sikap PB IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia, sudah mereka tegaskan sejak tiga tahun lalu, saat membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang (UU) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Komisi IX DPR.

Dengan kata lain, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) konsisten dengan sikap mereka. PB IDI paham bahwa eksekusi hukuman kebiri kimia, bukanlah domain mereka. Itu domain perangkat hukum. Dalam hal ini, posisi PB IDI sebatas pelaksana. Pada Selasa (27/08/2019), Daeng M. Faqih kembali menegaskan, kami minta jangan menunjuk tenaga medis atau tenaga kesehatan sebagai eksekutor.

Di sisi lain, Rudy Hartono selaku Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto, belum bisa memastikan, kapan eksekusi kebiri kimia terhadap Muhammad Aris dilaksanakan. Pada Jumat (23/08/2019), Rudy Hartono menyebut, Kejaksaan Negeri Mojokerto harus koordinasi dulu dengan dokter, rumah sakit, tempat, serta izin pengamanan, sebelum melaksanakan hukuman tersebut.

Tetap melibatkan dokter? Nah, artinya eksekusi kebiri kimia terhadap Muhammad Aris, bisa kandas di tengah jalan. Kenapa? Karena, PB IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual. Jika ada dokter yang melakukannya, berarti yang bersangkutan melanggar sikap PB IDI. Saya kemudian menelusuri eksistensi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam konteks hukum di Indonesia.

Pada Kamis (26/04/2018), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia, dengan sejumlah pertimbangan konstitusional. Itu dinyatakan oleh I Dewa Gede Palguna, dalam sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat No.6, Jakarta Pusat. Artinya, IDI satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang berhak mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.

Nah, siapakah dokter yang akan mengeksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris?

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 27 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun