"Kalau mau pinjam, pinjamlah dari penyedia jasa yang terdaftar di website OJK. Masa bisa akses online, akses website OJK aja nggak bisa?" ujar Wimboh Santoso, dengan nada jengkel. Jengkel kepada siapa? Kepada mereka yang memilih jalan pintas. Kepada mereka yang tak cermat, di urusan pinjam-meminjam uang.
Seperti Melawan RentenirÂ
Wimboh Santoso menyebut, OJK sulit memberantas perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending yang ilegal. Karena penyedia jasa tersebut tidak terdaftar, OJK tentu saja tidak tahu, siapa pemilik dan pengelola perusahaan tersebut. Karena tidak terdaftar, otomatis OJK susah melacak keberadaan mereka.
Di satu sisi, fintech ilegal tidak disukai, karena mekanisme pinjam-meminjam uang yang mereka terapkan, memberatkan nasabah. Suku bunga pinjamannya tinggi. Jika telat bayar, dendanya pun tinggi.Â
Bahkan, bunga berbunga. Di sisi lain, warga yang menggunakan jasa fintech ilegal tersebut, ya tetap saja banyak. Buktinya tercermin dari jumlah aduan yang masuk ke LBH.
Karena itulah, Wimboh Santoso membandingkan fintech ilegal dengan rentenir. Perilaku kedua jenis jasa itu, nyaris mirip. Bedanya, fintech ilegal beroperasi secara online.Â
Rentenir secara offline. Bagi saya, fintech ilegal lebih tepat disebut sebagai rentenir online. Ini menunjukkan kepada kita, bahwa teknologi bisa mengacaukan, jika berada di tangan orang yang salah.
Bisakah fintech ilegal diberantas? Bisa tapi sulit. Wimboh Santoso bahkan menyebut, memberantas fintech ilegal, sama dengan memberantas rentenir.Â
Lihatlah operasi rentenir di sejumlah pasar tradisional. Pedagang sayur, misalnya, meminjam uang Rp 100.000 di pagi hari. Malamnya, ia harus mengembalikan pinjaman + bunga Rp 150.000. Artinya, tak sampai 24 jam, bunganya Rp 50.000 setara 50 persen.
Gila, kan? Mencekik, kan? Nyatanya, masih saja ada warga yang meminjam uang kepada rentenir. Sebaliknya, rentenir pun masih saja leluasa beroperasi. Fintech ilegal nampaknya juga demikian.Â
Sudah begitu hebohnya derita nasabah fintech ilegal diberitakan, bahkan sudah viral di sosial media beberapa kali, nyatanya masih saja ada yang meminjam uang dari penyedia jasa fintech ilegal.
Semua itu dilema, problema sosial yang tak mudah mengatasinya. Teknologi digital yang diharapkan membawa kebaikan, pada saat yang bersamaan, juga menimbulkan kekacauan. Sementara, kehadiran teknologi digital, sudah tak terelakkan. Kita tak mungkin menghindar dari perkembangan teknologi. Lihatlah, jumlah pengguna internet di Indonesia tumbuh pesat, mencapai 171,17 juta dari 264,16 juta total penduduk negeri ini.