Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Museum Benteng Heritage: Menyusuri Jejak Cina Benteng dan Menjaga Spirit Leluhur

7 Mei 2011   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59 3290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Satu versi mengatakan, sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun di pusat Kota Tangerang, tepatnya di tepi Sungai Cisadane, pada zaman kolonial Belanda itu, sekarang sudah rata dengan tanah. Pada saat itu, banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu, harus tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul istilah "Cina Benteng".

Versi lain, dari kitab Sejarah Sunda, Tina Layang Parahyang, yang artinya Catatan dari Parahyangan, yang sudah menyebut daerah muara Sungai Cisadane, yang sekarang diberi nama Teluk Naga. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara Sungai Cisadane pada tahun 1407. Tujuan awalnya Jayakarta. Saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng". Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal, atau pencari ikan di pinggir kali.

Restorasi bangunan ini menelan biaya yang tidak sedikit. Udaya melakukan semua ini dengan sepenuh hati. Berbagai ahli sejarah, khususnya Sejarah Cina, juga kalangan arsitek, ia libatkan dalam proses restorasi ini. Proses yang dilakukan adalah restorasi, dengan berusaha sesedikit mungkin melakukan perubahan terhadap bangunan bersejarah ini. Agar bangunan ini bisa bertahan dari generasi ke generasi, agar kelak tidak tergusur, kini Udaya tengah mengurus proses pendaftarannya ke lembaga internasional, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), supaya Museum Benteng Heritage menjadi salah satu aset World Heritage. Saat ini, kekayaan bangsa kita yang sudah terdaftar di lembaga internasional tersebut: Borobudur Temple Compounds, Komodo National Park, Prambanan Temple Compounds, Ujung Kulon National Park, Sangiran Early Man Site, Lorentz National Park, dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatra.

Selain bangunan, benda-benda kuno yang ada dalam museum ini sungguh menakjubkan. Udaya terus berusaha menghimpun benda-benda serta sejumlah literatur yang ada relevansinya dengan Cina Benteng. Ia bahkan berburu sampai ke Universitas Leiden di negeri Belanda sana, demi penghormatannya serta terhubungnya dengan para leluhur. Juga, demi melengkapi bahan studi dari generasi ke generasi.

Dalam beberapa jam pertemuan dengannya, ia tak banyak bicara tentang dirinya serta aktivitasnya di luar urusan museum. Dari jawabannya terhadap pertanyaan seorang pengunjung museum tentang sebuah kursi yang ada di museum, sebagaimana saya temukan dalam blog bg440507.multiply.com, setidaknya kita mengenal sedikit mengenai apa-siapanya Udaya Halim ini. Jawaban ini sekaligus menjadi penutup catatan ini:

Bangku sekolah yang Bapak lihat di luar ini memang akan mendapatkan tempat di salah satu sudut Benteng Heritage. Karena tempatnya belum siap maka kami masih menaruhnya di bawah.


Bangku tersebut bukan bangku sekolah saya yang asli. Saya membelinya di Denpasar, Bali. Tapi, asalnya dari sebuah kota di Jawa Tengah. Sekolah saya (Baperki) sempat dibakar dan dijarah sewaktu kerusuhan tahun 1965. Spirit dari bangku tersebut, sebagai simbolik daritempat pembelajaran formal yang belum pernah seumur hidup sempat saya tuntaskan.

Jadi, makna bangku itu adalah representasi dari sekolah saya yang saya geluti sampai saat ini yaitu “UNIVERSITY OF LIFE”. Nah, bangku itulah simbolnya untuk mengingatkan saya pada masa lalu saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun