Negara dan Kemiskinan
Â
Sebuah negara yang di tunggangi oleh sekelompok orang, mereka mencari dan menerka-nerka dan mereka mengeksploitasi, menggusur, merobohkan dan mencuri hak-hak rakyat. Inilah bukti bahwa mereka adalah corak pemikiran Materialisme atau bentukan paradigma yang keliru dalam mengorientasikan pengetahuan.
Kekeliruan ini adalah dampak dari ketidakmampuan melihat realitas, mereka menjadikan Lembaga-lembaga sebagai alat untuk meninabobokan masyarakat. Mereka membuat isu-isu strategis untuk berupaya menghilangkan jejak isu-isu yang lama, problem inilah yang mestinya di telisik. Kenapa kemiskinan merajalela, pergusuran, ekploitasi alam dan yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya (Kemiskinan struktural) lalu siapa di balik sistem tersebut?
Fenomena-fenomena yang terjadi, menunjukkan bahwa ketimpangan sosial bukalah problem biasa tapi kemiskinan disebabkan oleh struktur tertentu. Baru-baru ini, seorang lansia meninggal karena menunggu antrian untuk masyarakat miskin (Balon Hijau). Tentu hal demikian bisa di asumsikan kecapean atau karena faktor usia dan lain sebagainya. Tapi yang menjadi pertanyaan kenapa dan bagaimana oknum ini sehingga tak bisa mengkoordinir hal demikian, Apakah karena hanya pengalihan isu? Sehingga kita atau masyarakat di hebohkan dengan isu-isu terbaru. Hingga persoalan-persoalan yang terjadi sebelum nya seakan-akan di lupakan saja, sejauh analisis dan informasi yang bisa di jangkau. Oknum-oknum ini membuat kita bingung dalam bentuk sebuah permainan catur, kita di benturkan dengan berbagai informasi yang tak karuan, opini-opini yang tak jelas sehingga oknum-oknum (Oligarki) melakukan aksi-aksi di belakang layar.
Demikian juga, beberapa kasus penggusuran rumah dan lahan masyarakat. Inilah mestinya yang menjadi introspeksi diri bagi kita sebagai kaum muda serta mau dikemanakan orientasi paradigma dan pengetahuan kita? Apakah orientasi paradigma kita di jadikan alat hegemoni, eksploitasi atau mendiktek masyarakat. Atau paradigma kita hanya terbelenggu sehingga tidak bisa beradaptasi.
Hal-hal demikian, tidak terjadi begitu saja (kebetulan). Tapi karena ada faktor-faktor tertentu (sebab-akibat), hal yang paling mendekati kenapa terjadi ketimpangan karena disebabkan tidak ada pemodelan dalam sistem pemerintahan. Pemodelan tersebut, tidak berangkat dari paradigma atau mereka dibelenggu oleh berhala (psikologi). Sehingga terjadi yaitu kerakusan kekuasaan, inilah tantangan kita semua bahwa langkah awal untuk melakukan tindakan praktis atau terjun ke sebuah masyarakat adalah membereskan berhala psikologi kita. Artinya pada diri manusia ada syahwat serta dalam tingkatan sosial ada berhala kekuasaan yang kecendrungan nya ingin menguasai. (Di dalam diri manusia ada tingkatan-tingkatan berhala)
Lalu apa solusi dalam menghadapi problem tersebut, salah satu solusi yang dapat kita inginkan adalah paradigma (pola pikir) atau secara spesifik kultural pengetahuan. Secara epistemologi, pengetahuan tidak cukup hanya dengan paradigma. Tapi, bagaimana pengetahuan itu sampai pada sesuatu yang filosofis dan pengetahuan itu dapat menjaga diri kita. Dan kenapa kita tidak maju-maju dalam hal paradigma dan pengetahuan karena kita menolak Filsafat, padahal secara hakikat Filsafat menawarkan/memberikan pertanyaan secara Eksistensi apa tujuan atau posisi manusia di alam semesta. Penolakan Filsafat yang di tolak oleh kelompok-kelompok tertentu dan mengatakan Filsafat hanya berbicara hal-hal yang abstrak dan terlalu mengawang-awang dan parahnya Filsafat di stigma sebagai sesuatu yang sesat. Bukan pengetahuan itu baik tapi penerapan nya keliru, artinya sebelum melakukan hal-hal praktis dalam konteks masyarakat yang harus terlebih dahulu di lakukan sebagai individu adalah memperbaiki kualitas dalam bentuk intelektual, moral dan spiritual.
Menurut hemat penulis, manusia kehilangan Eksistensi dirinya. Karena di bentuk dengan pemikiran Materialisme. Materialisme hanya terpaku pada hal-hal yang fisik belaka dan menganggap alam hanya sekedar materi tidak ada suatu hal yang filosofis, inilah terjadi karena kita eklusif terhadap pemikiran dan pengetahuan. Sedangkan dalam Filsafat, hal-hal material dan non material itu tidak bisa di pisahkan karena alam sebagai sumber pengetahuan, artinya manusia memiliki gambaran tentang sesuatu asasnya dari Realitas. Serta alam ini sebagai tanda atau memiliki nilai-nilai kearifan, tapi kenapa abad ke 21 ini. Eksploitasi dan perampasan tanah dan lainnya sebaiknya seakan-akan hanya kejadian biasa saja? Kemana para Agamawan, guru, dosen, dan orang-orang intelektual? Apakah mereka ikut berkecimpung dalam struktural atau hanya berdiam diri melihat penindasan tersebut?
Cinta akan kepemilikan, cinta akan kekuasaan. Kebangkitan manusia hanya menciptakan sesuatu yang berbentuk saja, memang manusia menciptakan peradaban tapi hanya sampai pada hal-hal materi saja. Kekayaan itu harus distribusikan bukan untuk di timbun dan kekuatan itu berasal dari kemakmuran rakyat.
Lebih baik kita memili mati dalam kebebasan daripada hidup dalam kebohongan. Suatu saat, menulis akan memungkinkan semua orang untuk membebaskan diri mereka sendiri dari belenggu raja mereka.
Yogyakarta, 05 Februari 2025
Penulis: puan Kelana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI