Mohon tunggu...
Isna Amini
Isna Amini Mohon Tunggu... Administrasi - menulis untuk menyampaikan kegelisahan

karyawan swasta yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gara-Gara PKS, Prabowo Dikalahkan Kalangan Minoritas?

10 Mei 2019   15:58 Diperbarui: 10 Mei 2019   16:27 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sampai hari ini, paslon Jokowi-Ma'ruf Amin mengungguli paslon Prabowo-Sandi. Paslon 01 mendapat mendapat suara 64.662.753 atau 56,20 persen. Sementara Prabowo-Sandi 50.402.780 atau 43,80 persen. Selisih perolehan suara mencapai 14.259.973 atau 12,4 persen.

Data ini mengacu pada angka sementara Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) milik KPU. Hasil ini masih mirip dengan rata-rata hasil quick count yang menempatkan posisi 56:44 dengan kemenangan paslon 01. Memang, belum ada hasil resmi.

Jika kelak posisi ini tidak berubah maka ini berarti suara Prabowo turun dibandingkan Pilpres 2014. Kala itu suara Prabowo 46.85%. Selisih suara Jokowi dan Prabowo cuma 6,3 persen. Untuk Pilpres 2019, selisih ini berpotensi naik dua kali lipatnya.

Hasil ini bukan karena Jokowi jauh lebih baik dari Pilpres 2014. Secara kasat mata kita sudah bisa lihat kalau Jokowi effect sejatinya sudah pudar. Lemahnya kepemimpinan Jokowi membuat rakyat kecewa. Tapi toh kekecewaan ini gagal diakumulasi untuk meningkatkan suara Prabowo.

Saya menilai sebabnya karena kubu 02 terlalu vulgar permainan politik identitasnya. Yah, sejak Gerindra-PKS mesra, Prabowo terkesan menjadikan politik identitas sebagai strategi moncer untuk memenangkan kompetisi politik. Ini kesalahan fatal, sebab pilgub DKI Jakarta 2017 tidak bisa serta merta diadopsi untuk skala nasional.

Sebenarnya masih ada SBY-Demokrat yang moderat dan tidak sepaham dengan politik identitas. Hal ini diserukan oleh SBY berulang-ulang. Bahkan sebelumnya, SBY-Prabowo sempat berikrar bersama agar Pemilu 2019 tidak disemaraki oleh politik identitas. Tapi toh, Prabowo melanggar ikrar tersebut.

Keberadaan PKS plus pada pendukung politik identitas lain di kubu 02, membuat kalangan minoritas bergeser ke kubu 01. Pada awal deklarasi paslon, kalangan minoritas masih tersebar antara Prabowo dan Jokowi. Lalu jumlah ini terpusat pada Jokowi di awal 2019.

Survei menunjukan pada Agustus 2018 hingga Januari 2019, dukungan kalangan minoritas untuk Prabowo anjlok dari 43,6 persen ke 4,7 persen. Sebaliknya, naik signifikan di kubu Jokowi yakni dari 47,5 persen ke 86,5 persen. Padahal total jumlah pemilih yang berasal dari kalangan minoritas adalah 15 % atau sekitar 28,9 juta pemilih.

Jumlah pemilih kalangan minoritas memang masih tertinggal jauh dari pemilih muslim. Tapi dalam kondisi selisi yang 10-an persen, mereka terang menjadi penentu. Sekiranya, dahulu Prabowo tidak terhasut bisikan politik identitas, selisih suara antara kedua paslon bisa dipersempit. Peluang Prabowo jadi semakin tinggi.

Tapi toh semua sudah terjadi. Saya pikir para paslon di Pilpres dan parpol harus berpikir ulang terkait penggunaan politik identitas ini. Lebih banyak mudharatnya. Satu-satunya parpol yang meraup elektoral dari politik identitas hanya PKS di kubu Prabowo-Sandi. Sebagian besar lainya bergeser ke kubu Jokowi-Ma'ruf dan mayoritas menjatuhkan pilihan pada PDIP.

Secara kebangsaan, politik identitas jelas mengganggu. Tapi mari kita tunggu bersama penetapan hasil pemilu 2019. Biar terang sejauh mana manfaat politik identitas bagi dunia politik di tanah air.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun