Mohon tunggu...
Rudi G. Aswan
Rudi G. Aswan Mohon Tunggu... penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Yang Saya Lakukan untuk Mendapat Cuan: Penting Enggak Sih Diceritakan?

14 Oktober 2025   10:56 Diperbarui: 14 Oktober 2025   14:07 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak cara dapat uang (Dok. pri)

"In this economy" tiba-tiba jadi ungkapan yang sering banget terdengar akhir-akhir ini. Ya, wajar saja--kondisi ekonomi emang sedang tak menentu, bahkan bagi sebagian orang bisa dibilang sangat memprihatinkan. 

Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit, apalagi kebutuhan sekunder atau tersier. Meraup untung dari dunia digital pun tak segampang dulu. Persaingan kian ketat, seketat anggaran Pak Purbaya, yiiihaaa!

Biaya sekolah dan UKT di kampus semakin tinggi dan terasa tidak masuk akal. Tugas pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menekan angka kemiskinan pun terasa semakin jauh dari harapan. Program-program yang seharusnya menolong justru menimbulkan masalah baru.

Ambil contoh, Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang awalnya dimaksudkan untuk menyehatkan anak sekolah malah menimbulkan banyak kasus keracunan. Alih-alih meningkatkan gizi dan kecerdasan anak, program ini justru sarat dengan muatan politik karena melibatkan pejabat sebagai pengelola dan vendor SPPG.

Bertahan hidup dengan apa saja

Di tengah situasi semrawut seperti ini, rakyat kecil hanya bisa berusaha melakukan apa saja demi bertahan hidup. Bukan untuk menumpuk kekayaan seperti anggota parlemen yang menuntut berbagai tunjangan, tapi sekadar agar dapur tetap ngebul.

Sejak pindah dari Bogor ke Lamongan, saya sendiri merasakan gejolak ekonomi yang cukup berat. Dulu, pekerjaan dari blogging masih banyak dan bayaran pun lumayan. Sekarang situasinya jauh berbeda: job semakin jarang, bayarannya kecil, dan pencairannya lama--bahkan bisa dua bulan.

Namun, apa pilihan lain yang kita punya? Mau buka usaha, terkendala modal. Mau kerja kantoran lagi, usia sudah kepala empat. Kalau tak ada ordal, rasanya sulit kan? 

Akhirnya, yang bisa dilakukan hanyalah mengerjakan apa pun yang bisa menghasilkan uang. 

1. Blogging

Saya mulai serius menekuni blogging sejak 2015, saat sudah tak lagi punya pekerjaan tetap. Punya blog dengan domain sendiri membuat saya bersemangat menulis dan ikut berbagai lomba. 

Waktu itu hadiah lomba besar dan bervariatif: ada smartphone, kamera, laptop, bahkan uang puluhan juta pernah saya bawa pulang.

Sayangnya, masa kejayaan blogging sudah meredup. Brand kini lebih memilih bekerja sama dengan YouTuber atau influencer di Instagram ketimbang bloger.

Bulan Juli lalu saya sempat diajak nangkring bareng Kompasiana di Batu, Malang--sungguh jadi oase di tengah gersangnya online job. Bukan cuma kopdar dengan Kompasianer Jatim, juga ketemu Bang Uyuy yang selama ini cuma kenal tampang. 

Lalu ada undangan lain pada pertengahan September dari sebuah brand laptop asal Taiwan dengan bayaran lumayan--meski kesempatan seperti itu jelas semakin jarang.

2. Mengedit dan menulis

Pekerjaan lain yang masih saya tekuni adalah menyunting naskah. Kalau sedang ada order, hasilnya lumayan. Misalnya, beberapa waktu lalu saya mendapat proyek mengedit buku biografi dari penerbit indie di Bogor. Untuk 400 halaman, saya dibayar Rp3 juta. 

Bayarannya cepat pula, aduhai surga--walau saya mesti bantu mengoreksi anatomi naskah.

Ada juga order proofreading disertasi seorang dosen dengan bayaran Rp1,5 juta, tapi waktu pengerjaannya cuma 2-3 hari. Kurang tidur, tapi apa boleh buat--yang penting ada fulus. Gas terus!

Selain itu, saya juga membantu menulis laporan pesanan teman, dengan bayaran sekitar Rp200 ribu per tulisan sepanjang 4--5 halaman. Tidak besar, tapi tetap saya syukuri karena bisa bikin beberapa tulisan dengan bahan yang sudah tersedia.

3. Me-layout buku

Pekerjaan me-layout naskah atau tata letak buku sebenarnya menyenangkan karena lebih menuntut kreativitas ketimbang ketelitian seperti saat mengedit. Sayangnya, laptop saya yang sudah lemot sering kali menghambat pekerjaan.

Tarifnya juga fleksibel. Beberapa bulan lalu, misalnya, seorang teman memesan paket lengkap--edit naskah, layout isi, dan desain sampul--dengan bayaran Rp600 ribu. 

Terbilang sangat kecil, tapi saya terima demi menjaga hubungan baik dan, tentu saja, karena butuh uang. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT.

4. Mengajar les

Sejak setahun lalu saya kembali mengajar, mulai dari les bahasa Inggris di lembaga kursus hingga persiapan UTBK di sebuah SMA. Sistemnya freelance, jadi kalau tidak ada jadwal, ya tidak dibayar.

Sering juga kelas mendadak dibatalkan karena siswa berhalangan, padahal saya sudah mengosongkan waktu. Misalnya ada tawaran liputan, saya relakan. Tahu-tahu siswa berhalangan karena sesuatu sehingga amsyiong deh enggak dapat apa pun.

Kendati begitu, tetap saya syukuri karena bisa bertemu siswa-siswa muda dan berbagi pengalaman serta semangat belajar kepada mereka. Uang hanyalah lembaran (yang sayangnya begitu berharga), hiks.

5. Jemput anak sekolah

Beberapa bulan terakhir, saya dan istri juga menerima jasa jemput anak sekolah. Kami bergiliran menjemput anak tetangga karena orang tuanya sibuk bekerja. Upahnya Rp50 ribu untuk tiga kali jemput--tidak besar, tapi lumayan daripada lumanyun. Garing, biarin!

Kadang jadwalnya mendadak batal karena orang tuanya sempat pulang lebih cepat. Ya sudah, belum rezeki. Kalau rizki, itu anak Sule yang pintar menyanyi.

Mungkin ada yang tanya, "Ga malukah ngojek anak sekolah padahal sarjana?" Saya jawab tegas, "Ya, tentu tidak." Tak ada yang salah dengan berburu cuan dari antar jemput anak orang.

Tak ada pekerjaan yang lebih mulia atau kurang luhur hanya karena penampilan fisik atau karakter pekerjaan yang bersangkutan.

Yang lebih memalukan adalah jijik pada suatu pekerjaan sebab dianggap rendahan padahal bisa berbuah cuan, lalu asyik bergantung hidup lewat utang.

6. Jual buku bekas

Sejak Tokopedia diakuisisi TikTok, jualan buku bekas jadi makin sulit. Dulu tiap bulan ada saja buku terjual, tapi sekarang bisa berbulan-bulan tanpa satu pun transaksi.

Salah satu buku kulakan tapi sayang dijual lagi (dok. pri)
Salah satu buku kulakan tapi sayang dijual lagi (dok. pri)

Shopee pun sama. Mereka mudah sekali menutup toko hanya karena harga buku lebih murah dari pasaran--padahal itu jelas buku bekas! 

Seharusnya admin Shopee belajar membaca dulu sebelum bertindak, biar tidak seperti aparat yang asal menyita buku karena dianggap "berbahaya".

7. Jual rongsokan

Kalau ini sih langkah terakhir dan tentunya manasuka. Saat honor atau bayaran belum cair, saya kadang melirik barang bekas: buku tulis lawas, kardus, botol plastik, bahkan perabot lama. 

Sebenarnya manfaatnya ganda: selain dapat cuan juga rumah semakin lega tanpa sampah bertumpukan. Toh barang-barang yang dilego itu sering mengendon tak terpakai hingga berbulan-bulan.

Kalau teman-teman butuh cuan, boleh tuh sambangi pojok loak atau tukang sampah terdekat. Mereka dengan senang hati menerima apa yang kita anggap "sampah".

Ubet, ngliwet 

Selain kertas bekas atau perabotan rusak, mereka menerima hape atau ponsel bekas loh--apa pun versi dan kondisinya. Lumayan buat beli paket data (atau mungkin 5 kilo beras) ketimbang menumpuk di rumah jadi sarang nyamuk dan tikus atau demit--nauzubillah! 

Hidup memang tak mudah in this economy. Tapi selama masih bisa berusaha dan bersyukur, kita selalu punya cara untuk bertahan--meski sekadar mengerjakan apa saja yang bisa menghasilkan sedikit cuan. Yang penting halal, akur?

Kata orang Jawa, "ubet, ngliwet", asal mau bergerak serius, selalu ada jalan (pemasukan) buat kita bisa makan (ngliwet). 

Apakah teman-teman Kompasianer mengalami gejolak ekonomi yang berpengaruh pada kondisi pendapatan keluarga? Atau puny ide meraup cuan secara gampang tapi berlimpahan? Haha.... Share dong di kolom komentar!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun