Mohon tunggu...
Isna Hani
Isna Hani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Book "Hukum Acara Peradilan Agama"

8 Oktober 2025   21:01 Diperbarui: 8 Oktober 2025   21:01 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Cover Buku Hukum Acara Peradilan Agama

Lebih jauh, Rofiq seolah ingin menegaskan bahwa keberadaan Peradilan Agama bukanlah bentuk eksklusivitas Islam, melainkan bagian dari sistem hukum nasional yang berkontribusi menjaga keadilan sosial. Sumber-sumber hukumnya bukan hanya teks suci, tetapi juga hasil ijtihad dan kesepakatan nasional. Dengan begitu, Peradilan Agama menjadi contoh bagaimana nilai-nilai Islam dapat hadir dalam ruang publik secara konstitusional dan beradab.

Pada Bab 4 tentang Asas-Asas Peradilan Agama. Bab 4 menjadi bagian yang sangat filosofis dari buku ini. M. Khoirur Rofiq menyoroti asas-asas yang menjiwai penyelenggaraan Peradilan Agama. Meskipun dalam judul tertulis "Asas-Asas Hukum Acara", namun pembahasannya melampaui sekadar prosedur. Ia mengulas nilai-nilai dasar yang menjadi roh dari pelaksanaan keadilan di lingkungan Peradilan Agama nilai-nilai yang berakar dalam ajaran Islam sekaligus diakui dalam sistem hukum nasional.

Salah satu asas utama yang disorot Rofiq adalah asas keadilan (al-'adl). Dalam pandangannya, keadilan dalam konteks Peradilan Agama tidak hanya berarti memberikan hak kepada yang berhak, tetapi juga menjaga keseimbangan antara hak, kewajiban, dan kemaslahatan. Keadilan di sini bersifat substantif dan spiritual. Hakim tidak boleh hanya berpegang pada bukti formal semata, tetapi juga harus mempertimbangkan nurani, moral, dan nilai-nilai sosial masyarakat.

Asas berikutnya adalah asas persamaan di hadapan hukum (al-musawah). Dalam Peradilan Agama, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, pejabat dan rakyat biasa. Semua pihak memiliki hak yang sama untuk didengar dan diadili secara adil. Prinsip ini sejalan dengan semangat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa "sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."

Kemudian, Rofiq membahas asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas ini mencerminkan bahwa keadilan tidak boleh hanya menjadi milik mereka yang mampu membayar mahal. Peradilan Agama harus hadir sebagai pengayom masyarakat, bukan beban tambahan. Dalam konteks inilah asas musyawarah, kekeluargaan, dan mediasi juga memperoleh tempat penting. Sengketa rumah tangga, misalnya, sering kali lebih baik diselesaikan secara damai daripada melalui keputusan hukum yang kaku.

Rofiq juga menyoroti asas kebebasan hakim. Ia menekankan bahwa kebebasan ini bukan berarti hakim boleh memutus sesuka hati, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab di bawah nilai keadilan dan ketakwaan. Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, sehingga setiap putusannya adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia tetapi juga di hadapan Allah.

Membaca bab ini membuat saya merasakan dimensi spiritual dari profesi hakim dan dunia peradilan itu sendiri. Bahwa di balik toga hitam dan palu sidang, ada hati yang bergetar antara kebenaran, tanggung jawab, dan ketulusan. Rofiq dengan halus mengingatkan bahwa asas-asas ini bukan sekadar teori hukum, melainkan pedoman moral untuk menjaga marwah peradilan Islam agar tetap berwibawa dan penuh hikmah.

Kesimpulan

Buku Hukum Acara Peradilan Agama karya M. Khoirur Rofiq bukan hanya sekadar membahas mekanisme hukum acara secara teknis, tetapi lebih jauh berusaha menegaskan makna filosofis dan nilai spiritual yang melandasi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Melalui pendekatan historis, normatif, dan etis, penulis mengajak pembaca untuk memahami bahwa lembaga peradilan ini bukan sekadar bagian dari sistem hukum nasional, melainkan juga manifestasi dari cita hukum Islam yang berorientasi pada keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan antara aspek duniawi dan ukhrawi.

Bab 2 memperlihatkan bahwa Peradilan Agama memiliki akar sejarah yang panjang dan kuat dalam perjalanan bangsa Indonesia. Keberadaannya tidak tiba-tiba muncul setelah kemerdekaan, tetapi telah tumbuh sejak masa kerajaan Islam di Nusantara. Evolusi lembaga ini mencerminkan dinamika hubungan antara hukum Islam dan sistem hukum negara. Ketika akhirnya Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung, hal ini menandakan bahwa hukum Islam telah memperoleh pengakuan formal sebagai bagian dari sistem peradilan nasional, tanpa kehilangan identitas religiusnya. Dengan demikian, lembaga ini bukan hanya simbol kelembagaan, tetapi juga simbol kontinuitas peradaban Islam di Indonesia.

Selanjutnya, Bab 3 menguraikan fondasi normatif yang menopang Peradilan Agama. Sumber hukum yang digunakan memperlihatkan adanya integrasi harmonis antara hukum ilahi dan hukum positif. Al-Qur'an dan Hadis menjadi landasan spiritual dan moral, sementara Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta berbagai undang-undang nasional memberikan legitimasi yuridis. Kehadiran dua dimensi ini menggambarkan model hukum Indonesia yang unik: sistem hukum nasional yang berkarakter religius, namun tetap rasional dan konstitusional. Buku ini menegaskan bahwa Peradilan Agama bekerja dalam koridor hukum negara tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariah yang menjadi ruh keadilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun