Sehabis bermain game ia tertidur setelah sahabatnya itu berangkat. Terbangun ditengah malam justru ia mendapati keadaan gelap gulita.
"Lo bisa nyalain lilin, tapi ati-ati kebakaran lo kan kalo tidur suka nendang sana-sini. Gue telat ada urusan. Kunci bener-bener tuh pintu!" Saran Dinda panjang lebar.
"Gue pengennya lo temenin Nda! Pulang napa?" Dengan nada sedikit manja ia merengek pada sang sahabat.
"Hahaha...gue nemenin lo kaga dapet apa-apa! Mending disini dong!" Â Sahut Dinda tertawa menyebalkan.
"Iya-iya gue tahu sebenernya lo khawatir kan ama gue, tenang aja kali, Sist! gue bisa jaga diri! Suara gadis yang baru memotong rambutnya pendek itu melembut. Dia tersenyum kikuk. Mengatakan dia bisa menjaga diri adalah suatu kebohongan yang pasti Adera tak akan pernah percaya. Tetapi sahabat baiknya itu juga tak banyak bertanya tentang pekerjaannya pun mencampuri lebih jauh urusan pribadinya.
Bukankah begitu sebuah persahabatan? Sangat dekat bukan berarti tanpa sekat. Ada hal-hal privasi yang perlu dijaga dan tidak semua hal bisa dibagi.
"Nda, ga tau kenapa gue gelisah banget! gue berharap banget lo pulang sekarang! Tinggalin urusan lo. Gue yakin ga sepenuhnya ini dari hati lo." Kalimat terakhir penuh penekanan.
Dinda terpaku di tempat. Iris mata berlensa sewarna bunga lavender itu meluapkan amarah yang berujung tetesan air mata. Dirinya tak lemah namun kerapuhan jelas memenuhi hidupnya sekarang.
Apa yang ia alami hari ini adalah kesalahan beberapa orang dari masa lalunya. Tetapi dia juga punya andil bukan? Mengapa menyalahkan orang lain? Tapi tidak hatinya dipenuhi benci dan jelas mereka yang salah. Jahatnya mengapa hanya ia yang terpuruk. Kemanakah keadilan Tuhan?
To be continued