Mohon tunggu...
Ismail Ilhams
Ismail Ilhams Mohon Tunggu... Mahasiswa/Ilmu pemerintahan/Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya sebagai mahasiswa yang berasal dari prodi ilmu pemerintahan dari univ sultan ageng tirtayasa memiliki ketertarikan memberikan opini terutama pada artikel artikel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kultus Dedi Mulyadi: Karisma atau Kuasa Lokal?

22 Juli 2025   20:57 Diperbarui: 22 Juli 2025   23:14 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dedi Mulyadi atau yang biasa kita dengar di media sebagai KDM, Pemimpin Jawa Barat ini dikenal sebagai pemimpin Visioner, merakyat dan figur populer dimedia media sosial terutama. Namun dimana ada pandangan positif pasti ada pandangan negatif, mulai dari pernyataan kontroversi serta kebijakan-kebijakan yang yang terasa seperti top-down satu suara dari atas melahirkan kebijakan tanpa persetujuan bersama.

Dalam waktu singkat KDM melahirkan beberapa kebijakan yang tidak hanya menargetkan ruang publik justru menuju ranah privat, apakah ini salah satu bentuk kepemimpinan yang efektif atau justru hanya mengambarkan orang kuat lokal berkarisma yang otoriter melalui basis-basis fanatisnya?.

3 kebijakan satu model

Salah satunya adalah Penetapan Jam Malam salah satu kebijakan yang sempat viral di berbagai media, terkhususnya pelajar dilarang keluar malam (21.00-04.00 WIB) kecuali untuk kegiatan pendidikan, keagamaan, atau keperluan ekonomi. Secara satu sisi merupakan kebijakan yang positif untuk menekan potensi adanya kenakalan remaja, tetapi di sisi lain dianggap sebagai objektifikasi Pelajar, Pelajar hanya dianggap sebagai ancaman ketertiban, bukan manusia.

Kritik serupa muncul atas Larangan Study Tour bagi Pelajar. Kebijakan yang sangat ramai perihal larangan study tour ini mendapatkan 2 pandangan, kebijakan ini dilatarbelakangi oleh protes wali murid siswa yang merasa terbebani dalam masalah ekonomi belum lagi kejadian kecelakaan rombongan pelajar seringkali terjadi. Yang pasti kebijakan ini mendapatkan penolakan keras dari pelaku industri pariwisata yang merasa dirugikan.pelarangan tanpa komunikasi lebih lanjut Mark Roelofs menyatakan: "politic is talk" tanpa itu menciptakan resistensi, bahkan demonstrasi, dari masyarakat bawah yang ekonominya terdampak langsung.

Tidak kalah kontroversi kebijakan Jam Masuk Sekolah Pukul 06.00 Pagi. Dalam satu podcast KDM mengatakan bahwa jam 6 pagi siswa sudah berada dikelas ia mengatakan kebijakan ini menimbukan hal positif udara yang masih segar, kondisi jalan belum macet dengan kondisi seperti itu peran orang tua sangat penting yang dimana anak-anak akan bangun lebih pagi dan tidur tidak terlalu malam. Pernyataan ini membuat beberapa kritikan Banyak orang tua terutama yang tinggal jauh dari sekolah atau bekerja di jam jam tertentu harus menyesuaikan ulang ritme hidup mereka. Kebijakan ini juga mengasumsikan bahwa semua keluarga punya modal sosial dan ekonomi yang sama, sebuah asumsi yang sering dikritik dalam pendekatan teknokratik ala James C. Scott, di mana negara berusaha menyederhanakan kompleksitas sosial lewat satu formula kebijakan.

Ketiga kebijakan itu menggambarkan jelas apa yang disebut oleh para ilmuwan kebijakan publik sebagai pendekatan top-down di mana kebijakan ditentukan sepihak oleh elite, tanpa konsultasi yang memadai kepada masyarakat. Dalam teori state-in-society, Joel S. Migdal bilang kalau negara gagal menjalankan fungsinya misalnya bikin aturan yang konsisten atau ngasih layanan publik yang merata maka akan muncul tokoh-tokoh lokal yang mengisi kekosongan itu. Tokoh-tokoh ini disebut sebagai local strongman: bukan karena jabatan resmi semata, tapi karena dia dipercaya, karismatik, dan dianggap bisa "beresin masalah".

Dedi Mulyadi adalah contoh nyata saat ini dari strongman lokal di Jawa Barat. Di tengah sistem pendidikan yang ribet dan lambat berubah, Dedi muncul sebagai figur yang langsung ambil tindakan. Bagi sebagian orang, gaya Dedi ini dianggap solutif. Nggak perlu rapat panjang, langsung bikin edaran. Nggak usah nunggu sistem berubah, langsung ambil alih. Ia hadir dengan "ketegasan" yang oleh banyak warga justru dianggap sebagai bentuk kepedulian.

Tapi di sinilah letak menariknya. Kepemimpinan Dedi itu bukan muncul dari sistem yang deliberatif atau proses demokrasi partisipatif. Ia naik karena masyarakat merasa negara kurang hadir. Seperti pada teori Max weber pada legitimasi karismatik, seseorang menurut karena kepercayaan pribadi pemimpin bukan karna kebijakan atau aturan yang dijalankan.

Fanatisme dan Kekuasaan

Dedi Mulyadi (KDM) dalam forum nasional Dewan Perwakilan Daerah pada 5 Mei 2025 menuai sorotan. Ia mengatakan, "Mudah-mudahan bapak-bapak nasibnya bisa jadi gubernur di daerah masing-masing, tapi jangan di Jawa Barat, berat lawan saya." Ucapan ini, meski terdengar sekedar candaan, justru memunculkan kesan arogan dan seolah ingin memonopoli ruang politik di Jawa Barat. KDM justru memberi sinyal bahwa Jawa Barat bukanlah ruang kontestasi terbuka, melainkan "kekuasaan pribadi" yang tidak layak diganggu. Ini memperkuat citra dirinya sebagai aktor lokal yang merasa paling berhak atas politik di daerah tersebut. Publik bisa saja menilai bahwa segala hal yang KDM tengah lakukan merupakan memainkan politik pencitraan yang berlebihan, sekaligus menunjukkan kecenderungan anti-kompetisi.

Kondisi itu didukung dalam beberapa hal, KDM juga dikenal sebagai figur yang sangat populer di kalangan masyarakat dan media. Karismanya dianggap khas: tegas, cepat merespons persoalan publik, dan tampil "merakyat". Banyak pendukungnya menyebut gaya kepemimpinannya sebagai "tegas dan solutif". Namun, di balik sanjungan itu, muncul kecenderungan baru yang patut diwaspadai: tumbuhnya basis pendukung fanatik yang anti-kritik dan membungkam suara berbeda.

Dalam gaya kepemimpinan KDM. Banyak program sosial yang sebetulnya merupakan kewajiban negara, diartikulasikan seolah-olah berasal dari dirinya seorang. Pendukungnya mempersepsikan itu sebagai kerja pribadi, bukan kerja pemerintah. Ini memperkuat kesan one man show, yang justru membahayakan prinsip kolektif dalam tata kelola pemerintahan. Popularitas semacam ini menghasilkan bias persepsi: yang membantu adalah "KDM", bukan institusi negara. Menurut Hoyt (dalam Kartono, 1998) memaparkan kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang lain dalam mencapai tujuan--tujuan yang di inginkan kelompok, (bukan autokratis).

Contoh kasus Aura Cinta, seorang pelajar yang menyuarakan keberatannya terhadap kebijakan larangan study tour, justru dihujat secara masif dan kasar oleh pendukung KDM. Padahal, menyampaikan pendapat adalah bagian dari hak dasar dalam demokrasi. Frans Magnis Suseno mengingatkan bahwa sebuah negara hanya bisa disebut demokratis jika menjamin lima unsur: negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilu bebas, prinsip mayoritas, dan perlindungan atas hak-hak dasar warga.

Dalam buku Eric Hoffer yang membahas gerakan massa berjudul "The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements" Individu dapat tergoda oleh sanjungan dan pujian kolektif, itu terjadi pada kebanyakan kasus. Dampaknya individu dapat mengalami kekakuan, penolakan pemikiran kritis dan ideologis.

Hal inilah yang tampaknya terjadi di sekitar KDM. Ia tidak hanya menjadi pemimpin, tapi juga simbol yang tak boleh disentuh kritik. Ini bukan lagi demokrasi partisipatif, melainkan politik fanatisme. Jika tidak dikendalikan, figurisme populis semacam ini bisa berujung pada kultus individu di mana logika kebijakan dikalahkan oleh popularitas, dan suara rakyat dibungkam oleh loyalitas buta. Demokrasi yang sehat tidak membutuhkan tokoh yang dipuja-puja secara berlebihan.

Fenomena ini muncul atas dasar kurangnya legitimasi dan kapabilitas negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara adil dan merata disetiap daerah sehingga muncul aktor lokal kuat seperti Dedi Mulyadi yang mendapatkan kepercayaan masyarakat yang kuat secara lokal dan karismatik. Jadi, apakah kehadiran figur seperti KDM hanya membawa hal positif? Tentu tidak. Di satu sisi, mereka menjawab kekosongan negara. Tapi di sisi lain, mereka memperlihatkan bahwa demokrasi lokal kita masih rapuh, mudah dikuasai figuritas populis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun