Kondisi itu didukung dalam beberapa hal, KDM juga dikenal sebagai figur yang sangat populer di kalangan masyarakat dan media. Karismanya dianggap khas: tegas, cepat merespons persoalan publik, dan tampil "merakyat". Banyak pendukungnya menyebut gaya kepemimpinannya sebagai "tegas dan solutif". Namun, di balik sanjungan itu, muncul kecenderungan baru yang patut diwaspadai: tumbuhnya basis pendukung fanatik yang anti-kritik dan membungkam suara berbeda.
Dalam gaya kepemimpinan KDM. Banyak program sosial yang sebetulnya merupakan kewajiban negara, diartikulasikan seolah-olah berasal dari dirinya seorang. Pendukungnya mempersepsikan itu sebagai kerja pribadi, bukan kerja pemerintah. Ini memperkuat kesan one man show, yang justru membahayakan prinsip kolektif dalam tata kelola pemerintahan. Popularitas semacam ini menghasilkan bias persepsi: yang membantu adalah "KDM", bukan institusi negara. Menurut Hoyt (dalam Kartono, 1998) memaparkan kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang lain dalam mencapai tujuan--tujuan yang di inginkan kelompok, (bukan autokratis).
Contoh kasus Aura Cinta, seorang pelajar yang menyuarakan keberatannya terhadap kebijakan larangan study tour, justru dihujat secara masif dan kasar oleh pendukung KDM. Padahal, menyampaikan pendapat adalah bagian dari hak dasar dalam demokrasi. Frans Magnis Suseno mengingatkan bahwa sebuah negara hanya bisa disebut demokratis jika menjamin lima unsur: negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilu bebas, prinsip mayoritas, dan perlindungan atas hak-hak dasar warga.
Dalam buku Eric Hoffer yang membahas gerakan massa berjudul "The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements" Individu dapat tergoda oleh sanjungan dan pujian kolektif, itu terjadi pada kebanyakan kasus. Dampaknya individu dapat mengalami kekakuan, penolakan pemikiran kritis dan ideologis.
Hal inilah yang tampaknya terjadi di sekitar KDM. Ia tidak hanya menjadi pemimpin, tapi juga simbol yang tak boleh disentuh kritik. Ini bukan lagi demokrasi partisipatif, melainkan politik fanatisme. Jika tidak dikendalikan, figurisme populis semacam ini bisa berujung pada kultus individu di mana logika kebijakan dikalahkan oleh popularitas, dan suara rakyat dibungkam oleh loyalitas buta. Demokrasi yang sehat tidak membutuhkan tokoh yang dipuja-puja secara berlebihan.
Fenomena ini muncul atas dasar kurangnya legitimasi dan kapabilitas negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara adil dan merata disetiap daerah sehingga muncul aktor lokal kuat seperti Dedi Mulyadi yang mendapatkan kepercayaan masyarakat yang kuat secara lokal dan karismatik. Jadi, apakah kehadiran figur seperti KDM hanya membawa hal positif? Tentu tidak. Di satu sisi, mereka menjawab kekosongan negara. Tapi di sisi lain, mereka memperlihatkan bahwa demokrasi lokal kita masih rapuh, mudah dikuasai figuritas populis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI