Mohon tunggu...
risya
risya Mohon Tunggu... -

Aku iri melihat rajawali terbang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan, Bahasa, dan Budaya

20 Mei 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:18 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan selalu punya cerita menarik untuk dikupas, mulai dari asal katanya misalnya para aktivis perempuan merasa lebih terhormat dengan penggunaan kata “perempuan” katimbang “wanita” karena kata “wanita” diasumsikan kependekan dari wani ditoto (mau diatur-atur). Lanjut lagi para aktivis perempuan juga menyakini bahwa bangsa ini lebih mengenal budaya feminimisme daripada budaya patriarki dengan merujuk banyaknya istilah seperti ibu kota dan ibu jari.

Sedangkan budaya patriarki sendiri lebih dikenal berasal dari barat dan bisa kita ketahui dari penggunaan istilah dalam bahasa mereka seperti chairman, woman-diambil dari kata man-, mankind dst. Berasal dari situlah para pakar bahasa perempuan barat kontemporer menolak menggunakanistilahtersebut dan lebih tertarik menggantinya dengan istilah yang lebih netral semisal chairperson atau humankind karena dianggap lebih adil dan tidak diskriminatif.

Sebenarnya jika ditelusuri lebih dalam bukan istilah tersebut yang perlu ditelaah Namun substansi kata itulah yang perlu diperjuangkan. Berbicara tentang budaya patriarki maupun feminisme sebenarnya ini tak kan lepas dari Dunia Gender. Gender disini berbeda arti dengan sex. Sex sendiri lebih didefinisikan sebagai alat kelamin atau perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang sudah menjadi kodrat atau bawaan dari lahir. Sedangkan Gender adalah hasil konstruksi sosial budaya terhadap sudut pandang seseorang mengenai posisi lelaki dan perempuan di masyarakat.

Gender Dalam Perspektif Budaya

Meski telah disebutkan diatas dalam segi peristilahan budaya kita kurang mengenal akan budaya patriarki namun juga perlu di akui budaya kita selama ini lebih menempatkan perempuan sebagai insan kedua. Kita masih sering mendengar di pedesaan bahwa perempuan cuma diberi ruang berkutit di sekitar tiga M yaitu; Macak, Manak ,dan Masak. Ironisnya diakui atau tidak kita juga sering menanamkan pemahaman tersebut ke anak-anak bahwa perempuan hanya hidup dalam dunia perdapuran saja. Semisal sewaktu kita memberikan contoh kepada anak didik dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Yaitu ‘ ibu pergi kepasar dan ayah pergi ke kantor. Mengapa tidak sebaliknya?

Oleh karena itu kita sering melihat poster disepanjang jalan yang bertuliskan “Tuhan membuat setara, manusia membedakanya” yang bermaksud pada dasarnya seluruh manusia itu setara hanya saja terkadang manusia membedakanya berdasarkan jenis kelamin semata. Perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki dan harus menurut apa kata suaminya dengan legitimasi agama bahwa surganya istri berada di tangan suami, sehingga dalam kebudayaan kita perempuan hanya mengenal istilah sendiko dawuh.

Juga masih teringat jelas betapa menyejarahnya cerita Siti Nurbaya yang mengisahkan ketertindasan perempuan oleh kesewenanga lelaki tak bertanggung jawab. Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan orang yang tak dicintainya. Siti Nurbaya tidak dapat menolak hal tersebut karena budaya pada masa itu mengharuskan setiap perempuan untuk selalu patuh tanpa harus diberikan haknya untuk berpendapat. Akhirnya betapa tragis nasib Siti Nurbaya yang harus meninggal ditangan suaminya sendiri.

Jika kita amati perempuan seakan selalu menjadi manusia nomor dua dalam budaya kita bahkan dalam karya fiksi sekalipun. Untungnya suara-suara pembebasan kini mulai terdengar nyaring di bumi pertiwi ini. Sebut saja kritik sastra feminisme (KSF) yang mengkritik karya sastra yang hanya bisa menjadikan perempuan sebagai korban tanpa adanya upaya menjunjung tinggi harkat martabat mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun