Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Desa Kecilku

12 November 2019   10:05 Diperbarui: 12 November 2019   10:15 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com

Semburat kuning keemasan pelita mayapada hadir menyapa penduduk dunia. Secangkir pahit kopi hitam menyatu bersama manis gula menciptakan nikmat yang tiada tara. Sesekali melintas beriringan burung-burung terbang pelan di udara menjadi hiasan tersendiri di cakrawala.

"Perbedaan ciptaan-Nya adalah keindahan" batinku, aku tau dunia ini begitu indah kala tak hanya satu dua macam aneka rupa, tapi berjuta-juta warna berperan sesui titah-Nya.

Sebongkah tanah terdiam sunyi saat air enggan untuk menyapa gersangnya. Dengan ke-tawadluan-an air kemudian ia lepas aksesori egoisme diri hingga gersang tanah kini membasah. Rumput, ilalalng, bunga, pohon mangga pun bersorak ria kala tempat berpijaknya membasah. Dan sang tanah pun tak pilih sih terhadap apapun tanaman  yang tumbuh di atas dirinya.

Desa Kecilku, sebuah desa subur karena antara satu unsur alam dan unsur lainnya saling berkontribusi sesui porsi ilahi. Semua berperan sesuai sunnatullah sebagai ayat-ayat kauniyah. 

Andai salah satu unsur alam desa Kecilku egois, apa yang akan terjadi? Andai tanah enggan dijadikan tempat tumbuh pepohonan, apa yang akan terjadi? Andai air enggan meresap pada tanah gersang, apa yang akan terjadi? Andai pohon enggan dijadikan rumah semut-semut, burung-burung ataupun sarang bagi laba-laba, maka apa yang akan terjadi?.

Maka toleransi antar lainnya adalah kunci untuk terciptanya alam yang subur. Toleransi menjadikan sebuah peradaban kuat hingga tercapai sebuah impian desa Kecilku menjadi desa yang gemah ripah loh jinawi. Menjadi sebuah qoryatun ttoyyibatun (desa yang subur) menjadi desa kecil impian penuh kedamaian.

Tapi nyatanya, kini desa kecilku tak tak seperti apa yang aku harapkan. Desaku gersang karena air hujan tak kunjung datang. Pepohonan mati. Kicauan burung-burung tak terdengar lagi. Pesona alam pedesaanku menjadi penjara yang tak memberiku kedamaian jiwa dan raga.

Kini netra berkaca-kaca membendung air mata yang menggumpal ditepi samudera panca indera. Satu dan satu lainnya unsur alam tak lagi saling mau melengkapi, mereka menjudge unsur alam lainnya, mereka tak besarkan berhala egoisme kebenaran yang mem-fana-kan ruh Tepo seliro sebagi warisan yang seharusnya dilestarikan kini hanya tinggal sebuah wacana menakutkan di lembar kusam kehidupan.

Desaku.*

Cilacap:12/11/19

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun