Dalam pikiran yang “increase” terbayanglah sebagaimana Mu’tazilah, syiah atau kelompok asy’ariyah, bahwa Allah tidak pantas duduk, tidak layak bagi Allah memiliki sifat duduk, karena sifat duduk berlaku kepada makhluqnya saja. Juga tuduhan sebagai kesimpulan yang salah. Karena dalam menarik kesimpulan “duduk” beberapa kelompok Islam itu, membayangkan duduknya Allah sama dengan manusia.
Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali). Jadi tidak ada larangan mengatakan “Allah duduk, semayam” selama memang ada ayatnya atau haditsnya. Karena apapun yang dikatakan manusia itu hanya sebatas pencernaan bahasa, bukan hakikatnya pengertian yang di pas buat Allah. Apalagi berkaitan dengan soal “Kaifiyat “ , jelas umat Islam tidak memiliki hak bertanya tentang tata caranya.
Dari sisi bahasa kata “Istiwa” memiliki makna sebagai berikut :
‘ala (tinggi)
Irtafa’a (terangkat)
Sho’uda (naik)
Istaqarra (menetap)
Semua pengertian itu benar, tinggal soal keimanan kita kepada Allah, meyakini sifat sifatnya sesuai dengan Ayat ayatnya yang tertera dalam Quran dan hadits. Kesimpulannya Allah punya tempat tinggal yang hanya bisa dita’wilkan menurut Allah itu sendiri.