Mohon tunggu...
Zulkarnain El Madury
Zulkarnain El Madury Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Madura pada tahun 1963,
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang pemburu kebenaran yang tak pernah puas hanya dengan " katanya". Adalah Da'i Pimpinan Pusat Muhammadiyah peeriode 1990 sd 2007, selanjutnya sebagai sekjen koepas (Komite pembela ahlul bait dan sahabat) hingga 2018, sebagai Majelis Tabligh/Tarjih PC. Muhammadiyah Pondok Gede, Sebagai Bidang Dakwah KNAP 2016 -219 . Da'i Muhammadiyah di Seluruh Tanah air dan negeri Jiran ..pernah aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia), Tinggal dijakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan itu Bertempat Tinggal

23 Agustus 2015   10:26 Diperbarui: 23 Agustus 2015   10:59 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Allah"][/caption]Salah satu aqidah Muhammadiyah dalam fatwa Tarjih disebut, bahwa Allah itu “Semayam di Arasy”, ada suatu tempat yang berada diatas langit, sebagaimana tercantum dalam firman Allah: “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

Keyakinan “Muhammadiyah” berdasarkan ayat ayat Allah yang banyak menempatkan kata Arasy, sebagai tempat tertinggi setelah Allah. Tidak ada yang lebih tinggi dari tempat itu kecuali Allah itu sendiri. Pembicaraan ini dalam ilmu kalam telah menimbulkan perdebatan yang cukup tajam dan hangat hingga sekarang. Berbagai kalangan saling berpendapat “Allah di mana”. Cukup menegangkan kalau baca karya karya Ulama, hingga pernah terjadi saling menumpahkan darah di Jaman Imam Ahmad.

Tetapi bagaimana sebenarnya memahami Ayat Allah diatas Arasy, itu yang perlu telaah mendalam, tidak sebatas cukup meyakini saja, untuk lebih mendapatkan kebenaran ayat , apa sebenarnya yang di maksud.

“Allah diatas Arasy” atau bersemayam diatas arasy, adalah tidak terletak pada kebiasaan dan konsekwensi manusia. Jelas berbeda, ketika kita menyebut “Atas atau Bawah” dengan sebutan Allah yang menyebut sama perkataan “atas bawah”. Karena Allah yang Maha segalanya jelas berbeda dengan ciptaan-Nya, tidak berhubungan sama sekali dengan keberadaan Allah yang menciptakan mereka. Artinya tidak ada kaitan dari  berbagai sifat yang di milikinya meskipun sama dalam sebutan. Itulah sebabnya, meskipun Allah dikatakan bersemayam diatas Arasy itu menurut pengucapan Allah dan berlaku hanya kepada Allah. Taruklah kata “Allah duduk” sekalipun, tetap saja berbeda dengan makhluqnya.

Karena Quran merupakan Firmannya, sudah tentu menjadi info syariat Islam, yang menetapkan dirinya memiliki sifat sifat sesuai kemaunya yang disebutkan dalam Quran, tanpa ada keinginan kita untuk merombak kata “semayam atau Tinggal” dalam bentuk pengertian kita.

Salahnya kita ketika menyebut Allah bersemayam diatas langit atau Arasynya, adalah dengan menggambarkan Allah sama sifatnya dengan kita, hal inilah yang keliru, tetapi kalau Allah dikatakan memiliki sifat sifat “semayamatau Istiwa”, mendengar, melihat dengan mata penglihatannya, ya tentu berbedalah dengan sifat sifat-Nya dengan sifat ciptaannya. Menyeret pengertian pada upaya penyelamatan faham dengan memberikan ta’wil pada sifat sifatnya dengan makna lain atau sengaja atau tidak sengaja menyamakan dengan manusia itu yang salah. Tetapi meskipun sebutannya sama dalam soal nama , duduk, mendengan, melihat, berjalan atau lari, ketawa, marah. Akan menjadi berbeda ketika diarahkan kepada Allah yang berkekalan.

Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:

الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.

“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)

Kata “kursi” dalam hadits ini jelas bukan kursi dalam pengertian kita, kalau kemudian dita’wil sesuai dengan keinginan kita juga salah, karena kursi yang dimaksud adalah berdasarkan keinginan Firman, hingga kata kata kursi bukan bermakna “tempat duduk yang layak menjadi tempat duduk manusia”, Apa yang dapat ditarik dari kata “kursi” hanya bisa dikembalikan kepada “Allah” itu sendiri. Meskipun “kursi” itu adalah benda, tentu bukanlah benda yang sering dibuat tukang kayu atu pabrik kursi. Kursi dalam makna Allah atau Islam, adalah kursi tempat “ Allah kaki Allah bertahta diatas arasy-Nya – Singgasa-Nya.

Dalam pikiran yang “increase” terbayanglah sebagaimana Mu’tazilah, syiah atau kelompok asy’ariyah, bahwa Allah tidak pantas duduk, tidak layak bagi Allah memiliki sifat duduk, karena sifat duduk berlaku kepada makhluqnya saja. Juga tuduhan sebagai kesimpulan yang salah. Karena dalam menarik kesimpulan “duduk” beberapa kelompok Islam itu, membayangkan duduknya Allah sama dengan manusia.

Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:

الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.

“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali). Jadi tidak ada larangan mengatakan “Allah duduk, semayam” selama memang ada ayatnya atau haditsnya. Karena apapun yang dikatakan manusia itu hanya sebatas pencernaan bahasa, bukan hakikatnya pengertian yang di pas buat Allah. Apalagi berkaitan dengan soal “Kaifiyat “ , jelas umat Islam tidak memiliki hak bertanya tentang tata caranya.

Dari sisi bahasa kata “Istiwa” memiliki makna sebagai berikut :

‘ala (tinggi)

Irtafa’a (terangkat)

Sho’uda (naik)

Istaqarra (menetap)

Semua pengertian itu benar, tinggal soal keimanan kita kepada Allah, meyakini sifat sifatnya sesuai dengan Ayat ayatnya yang tertera dalam Quran dan hadits. Kesimpulannya Allah punya tempat tinggal yang hanya bisa dita’wilkan menurut Allah itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun