CUACA hari ini sangat terik. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Jazil berulang kali menyeka keringat yang meluncur deras di keningnya dengan telapak tangan kanan, kering sebentar kemudian basah lagi. Â
Pelajar kelas VIII itu harus menerima diberi hukuman wali kelas lantaran mengucapkan kata berbau rasis kepada Mei. Â Perempuan keturunan Tionghoa beragama Konghucu yang tengah mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS.Â
Jadilah, ia dihukum berjemur di tengah lapang. Â Sekalipun Jazil berulang kali menyatakan tidak bersalah. Karena apa yang dikatakannya tentang Mei adalah kebenaran. Mei sebagai calon Ketua OSIS harusnya berpikiran luas. Tidak picik. Tidak perlu mengandalkan air mata untuk menjadi seorang pemimpin.Â
Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur tak mungkin dikembalikan menjadi nasi. Jazil sudah pasrah menerima hukuman berjemur di kondisi yang terik. Sinar matahari menusuk-nusuk kulitnya tanpa belas kasihan.Â
Jazil tak kuat dengan kondisi tersebut, ia memutuskan berlari menuju pohon beringin teduh yang usianya mencapai seratus tahun di samping kamar mandi sekolah.Â
Dia menarik napas dalam-dalam saat angin membasuh wajahnya. Ia pun tersenyum sendiri saat otaknya mulai kembali normal. Tak menyangka ia berani membangkang. Lari dari hukuman yang belum tuntas. Â Tapi kini keringat mulai berkurang. Badannya kembali segar.Â
Lelaki berambut ikal itu mencoba bersembunyi. Jazil memutuskan naik keatas pohon yang memiliki mitos angker itu. Dengan harapan tidak ada seorang pun siswa maupun guru yang menyadari keberadaan dirinya.Â
Baru saja Jazil merebahkan badan kurusnya pada pokok batang beringin, ia sudah mendengar suara dua orang yang tengah ngobrol serius di bawah pohon. Â
Jazil mengenal dua orang di bawah dengan sangat baik. Tutun dan Abit. Dua siswa dari kelasnya yang menjadi lawan Mei pada kontestasi Pemilihan Ketua OSIS.Â
Jazil berusaha mendengarkan obrolan keduanya. Tutun berusaha meyakinkan Abit bahwa dirinya yang akan menjadi pemenang. Dukungan yang dikantongi sudah mencapai 50+1.Â
"Lagian kamu gak punya duit kan Bit," kata Tutun.Â