Di sisi lain, masih terkadang muncul berita oknum polisi yang menjadi backing bandar narkoba, perjudian, maupun prostitusi. Atau menjadi "centeng-centeng" para pemilik modal. Bila ada sengketa masalah tanah, misalnya, nah para centeng inilah yang turun tangan untuk membereskannya. Tentu tidak mengatasnamakan institusinya. Atau bisa jadi oknum itu  "dimanfaatkan" untuk menekan para pesaing bisnis dari tuannya.
Di bidang pelayanan publik, misalnya, ada adagium, lapor ayam hilang kambing. Akibatnya, sebagian anggota masyarakat enggan melaporkan bila ada kasus atau insiden yang menimpa dirinya karena lebih besar biaya yang dikeluarkan ketika kasusnya diproses ketimbang nilai barang yang hilang. Atau, di jalanan, dulu terkenal ada istilah "prit jigo".Â
Polisi lalu lintas dipandang cenderung mencari-cari kesalahan yang ujung-ujungnya berakhir damai setelah ada transaksi antara sang polantas dengan yang terkena razia. Atau, polisi dituding beberapa kalangan seperti pisau. Tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Bila terkait para pejabat atau elit pemerintahan atau tokoh, polisi menjadi "mandul" dalam penindakannya.Â
Tapi bila rakyat kecil yang melanggar, "hukum besi" berbicara tegas. Atau, banyak rumor tersangka disiksa untuk memperoleh pengakuan agar seseorang atau mereka mengaku sebagai "penjahat" yang sebenarnya seseorang atau mereka itu bukan "penjahat".Â
Caranya, antara lain jempol kaki tersangka diinjak dengan kaki kursi sehingga terasa nyeri sampai ke ubun-ubun, akibatnya karena tidak tahan akan siksaan akhirnya terpaksa mengaku.  Atau, ada sorotan soal mudahnya  mempermainkan hukum. Ini berkaitan dengan dugaan polisi menerapkan pasal suka-suka sesuai dengan pesanan dari "sponsor".
Catatan lain adalah  keluhan masyarakat terhadap berbagai perilaku anggota polri di lapangan. Misalnya, berkata "kotor", angkuh, tidak sopan, membentak-bentak, bahkan kadang main pukul atau tendang. Hal itu bisa disimak dari beberapa surat pembaca di media massa.
Yang lebih berbahaya, bila ada penyalahgunaan kekuasaan. Polisi yang semestinya mencegah atau memberantas korupsi, misalnya, tapi justru bekerja sama dengan para "koruptor" untuk mendapat bagian dari hasil korupsi itu. Atau memberi diskresi, yang semestinya tidak harus diberikan, tapi tetap diberikan karena telah mendapat "imbalan".
Kalau mau dibuat daftar masalah, masih panjang catatan yang bisa dibuat. Itu hanya sekelumit  beberapa pembicaraan publik  yang boleh dikatakan sudah menjadi rahasia umum.
Ini bukan untuk menyudutkan polisi. Kalau mau jujur, kita harus fair, bahwa boleh dibilang hampir tidak ada profesi yang begitu mulia yang bisa menandingi profesi kepolisian.Â
Polisi bertugas 24 jam dengan penuh muatan baik. Dari mulai menolong orang tua jompo, anak kecil, membantu para penyandang tuna, orang yang dianiaya, membekuk pengutil, pencuri, perampok, pembunuh, sampai memburu pelaku kejahatan tinggkat tinggi berteknologi canggih mapun teroris.Â
Sampai terkadang keperluan dan kepentingan pribadinya dikalahkan untuk memenuhi panggilan tugas. Itu semua mengandung risiko. Sehingga ada pameo, kaki kanan polisi di kuburan, kaki kiri di penjara. Kalau lambat mengambil keputusan, polisi atau korban yang mati di tangan penjahat. Tapi, kalau terlalu cepat bertindak dan ternyata tindakannya keliru, maka siap-siap tangannya di borgol alias masuk penjara.