Kapolri baru membuat "gebrakan". Â Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo M.Si. usai dilantik Presiden sebagai orang nomor satu di korps baju cokelat pada Rabu (27/1/2021) langsung menyampaikan pokok-pokok pikirannya mengenai postur Polri ke depan.Â
Ringkasnya, Listyo Sigit akan men-transformasi Polri Menuju Polri yang Presisi". Ada empat transformasi yang dikemukakan Listyo Sigit: yaitu transformasi (1) organisasi, (2) operasional, (3) pelayanan publik, dan (4) pengawasan. Bagian dari transformasi operasional, misalnya, peningkatan peran pamswakarsa untuk pemiliharaan kamtibmas.Â
Transformasi organisasi antara lain mendorong penataan fungsi penyidikan pada polsek tertentu. Harapannya, tidak ada lagi penegakan hukum yang melukai rasa keadilan publik.Â
Belum lagi modernasi teknologi kepolisian menuju Police.4.0 sebagai bagian dari transformasi organisasi ini. Untuk transformasi pelayanan publik, Listyo Sigit menjanjikan respon mudah dan cepat terhadap aduan publik, termasuk penerbitan SIM, STNK, BPKB, dan SKCK, yang terintegrasi berbasis big data.
Itu semua gebrakan transformasi menuju Polri yang presisi, yaitu prediktif, penuh responsibilitas, dan menjunjung transparansi yang berkeadilan. Sungguh gagasan yang cemerlang.
Mudah-mudahan apa yang disampaikan Listyo Sigit bukan sekadar slogan. Mengingat, ada beban sangat berat dipundak Listyo Sigit menanti untuk dibenahi. Tantangan dan masalah yang melilit Polri "menggunung".Â
Seorang teman asing secara guyon mengatakan,"Kalau Anda mau apa saja dan boleh berbuat apa saja atau mau beli apa saja, apakah narkoba, jabatan, hukum, izin, lisensi, gunung, hutan, maka mampirlah ke Indonesia".Â
Ini mengindikasikan bagaimana lemahnya penegakan hukum di tanah air. Sebagian pengamat secara ekstrim menyebutnya state without law atau lawless society.
Memang ada hukum dan Undang-Undang (UU) tapi kepastian hukum masih dianggap "jauh panggang dari api". Misal ada larangan merokok di muka umum, tapi apa yang terjadi, sering tampak orang tanpa merasa bersalah dengan santai terus merokok di tempat tersebut. Bebas. Tidak ada tindakan. Lalu, bangunan atau gubuk liar mulai dari kolong jembatan, jembatan tol, sampai lahan milik negara atau pihak lain bebas berdiri bak jamur tumbuh di musim hujan. Ada semacam pembiaran.Â
Trotoar banyak diserobot pedagang kaki lima yang mengganggu kenyamanan para pejalan kaki. Beberapa daerah tangkapan air diduduki perumahan mewah atau vila seperti yang disinyalir terjadi antara lain di wilayah Puncak, Bogor. Tambahan lagi, pembabatan hutan apakah untuk kebun sawit atau pembalakan liar maupun perkebunan pribadi yang tidak peduli dengan daya dukung lingkungannya seperti yang diduga terjadi di Kalimantan Selatan sehingga mengakibatkan banjir bandang tahun ini atau di beberapa tempat lainnya.Â
Di media sosial beredar, seolah-olah pemilik perkebunan sawit atau para pembalak hutan itu "untouchable" tak tersentuh hukum karena pemiliknya konon "dilindungi"  para pejabat tinggi atau pemegang kekuasaan. Belum lagi maraknya  tambang ilegal di berbagai wilayah. Mereka bebas beroperasi sepanjang setorannya lancar.
Di sisi lain, masih terkadang muncul berita oknum polisi yang menjadi backing bandar narkoba, perjudian, maupun prostitusi. Atau menjadi "centeng-centeng" para pemilik modal. Bila ada sengketa masalah tanah, misalnya, nah para centeng inilah yang turun tangan untuk membereskannya. Tentu tidak mengatasnamakan institusinya. Atau bisa jadi oknum itu  "dimanfaatkan" untuk menekan para pesaing bisnis dari tuannya.
Di bidang pelayanan publik, misalnya, ada adagium, lapor ayam hilang kambing. Akibatnya, sebagian anggota masyarakat enggan melaporkan bila ada kasus atau insiden yang menimpa dirinya karena lebih besar biaya yang dikeluarkan ketika kasusnya diproses ketimbang nilai barang yang hilang. Atau, di jalanan, dulu terkenal ada istilah "prit jigo".Â
Polisi lalu lintas dipandang cenderung mencari-cari kesalahan yang ujung-ujungnya berakhir damai setelah ada transaksi antara sang polantas dengan yang terkena razia. Atau, polisi dituding beberapa kalangan seperti pisau. Tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Bila terkait para pejabat atau elit pemerintahan atau tokoh, polisi menjadi "mandul" dalam penindakannya.Â
Tapi bila rakyat kecil yang melanggar, "hukum besi" berbicara tegas. Atau, banyak rumor tersangka disiksa untuk memperoleh pengakuan agar seseorang atau mereka mengaku sebagai "penjahat" yang sebenarnya seseorang atau mereka itu bukan "penjahat".Â
Caranya, antara lain jempol kaki tersangka diinjak dengan kaki kursi sehingga terasa nyeri sampai ke ubun-ubun, akibatnya karena tidak tahan akan siksaan akhirnya terpaksa mengaku.  Atau, ada sorotan soal mudahnya  mempermainkan hukum. Ini berkaitan dengan dugaan polisi menerapkan pasal suka-suka sesuai dengan pesanan dari "sponsor".
Catatan lain adalah  keluhan masyarakat terhadap berbagai perilaku anggota polri di lapangan. Misalnya, berkata "kotor", angkuh, tidak sopan, membentak-bentak, bahkan kadang main pukul atau tendang. Hal itu bisa disimak dari beberapa surat pembaca di media massa.
Yang lebih berbahaya, bila ada penyalahgunaan kekuasaan. Polisi yang semestinya mencegah atau memberantas korupsi, misalnya, tapi justru bekerja sama dengan para "koruptor" untuk mendapat bagian dari hasil korupsi itu. Atau memberi diskresi, yang semestinya tidak harus diberikan, tapi tetap diberikan karena telah mendapat "imbalan".
Kalau mau dibuat daftar masalah, masih panjang catatan yang bisa dibuat. Itu hanya sekelumit  beberapa pembicaraan publik  yang boleh dikatakan sudah menjadi rahasia umum.
Ini bukan untuk menyudutkan polisi. Kalau mau jujur, kita harus fair, bahwa boleh dibilang hampir tidak ada profesi yang begitu mulia yang bisa menandingi profesi kepolisian.Â
Polisi bertugas 24 jam dengan penuh muatan baik. Dari mulai menolong orang tua jompo, anak kecil, membantu para penyandang tuna, orang yang dianiaya, membekuk pengutil, pencuri, perampok, pembunuh, sampai memburu pelaku kejahatan tinggkat tinggi berteknologi canggih mapun teroris.Â
Sampai terkadang keperluan dan kepentingan pribadinya dikalahkan untuk memenuhi panggilan tugas. Itu semua mengandung risiko. Sehingga ada pameo, kaki kanan polisi di kuburan, kaki kiri di penjara. Kalau lambat mengambil keputusan, polisi atau korban yang mati di tangan penjahat. Tapi, kalau terlalu cepat bertindak dan ternyata tindakannya keliru, maka siap-siap tangannya di borgol alias masuk penjara.
Karena itu, sudah tepat kiranya apa yang dilontarkan Listyo Sigit dengan program transformasinya itu untuk mengantisi masalah dan tantangan ke depan yang dihadapi korps baju cokelat itu.
Namun untuk itu, Listyo Sigit harus kerja keras untuk mendapatkan kepercayaan publik. Karena salah satunya, polisi itu lahir dari "rahim" yang berdarah panas sehingga polisi juga menjadi profesi yang "tidak disuka". Di Eropa ada dikenal istilah "Omdankbar" secara bebas dapat diterjemahkan kira-kira bahwa polisi itu profesi yang jauh dari dari terima kasih, dekat dengan umpatan, sumpah serapah. Dibenci tapi dirindu. Di zaman Yunani Kuno, polisi disebut sebagai watchdog (penjaga malam) yang hanya berurusan dengan masalah orang pembuat onar, pencuri, perampok, penjahat, dan sebagainya.
Sementara itu, kini ditengarai polisi menghadapi distrust society. Masyarakat yang terbelah baik karena residu dari sisa-sisa pilpres yang lalu maupun dampak dari pandemi covid-19 dan faktor hoaks dari maraknya media sosial. Selain ada kecenderungan kepercayaan masyarakat itu sendiri kepada Polri tampaknya meluntur.
Salah satu upaya untuk mendapatkan kepercayaan publik itu bisa dimulai dengan membangun komunikasi yang intens dengan ormas-ormas yang berbasis massa terutama ormas Islam mengingat Indonesia dihuni penduduk  muslim terbesar di dunia. Masyarakat kita masih melihat patron atau tokoh apakah kiai, ulama, ustadz, mubaligh, dan mereka mengikutinya kadang tanpa reserve. Jalin kemitraan dengan ormas-ormas berbasis massa itu  dan kalau bisa bangun sinergitas bisa melalui program atau kegiatan.
Harapannya, terbangun postur polisi yang santun dan rendah hati. Merebut hati masyarakat dan bekerja sepenuh hati. Saya teringat film seri TV Jepang, Oshin.Â
Dalam salah satu penggalan episode-nya dikisahkan ada seorang yang berpenampilan pengemis dan memang seorang yang miskin masuk ke toko roti yang termashur di kota itu yang biasanya dikunjungi orang kaya dan kalangan masyarakat atas. Dia memaksakan masuk ke toko itu dan ingin membeli sepotong manju (roti khas Jepang yang sangat lezat secamam kue bakpia). Pembeli "pengemis" itu mengeluarkan berkeping-keping uang dari saku kumalnya hanya untuk membeli sepotong manju. Melihat itu, pemilik toko yang duduk nyaman di ketinggian supaya leluasa memandang dan mengawasi tokonya turun mendekati "pembeli istimewa" itu.Â
Dan menyambut pembeli itu dengan merebut bungkusan manju dari tangan pelayannya dan kemudian melangkah ke  "pengemis" itu seraya menyerahkan langsung roti manju ke pengemis dan mengambil uang recehan pengemis itu lalu kemudian dengan takzim membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Para pelayan tokonya kaget, mengapa pemilik toko, sang tuan, tidak sepertinya biasanya cukup duduk manis mengawasi tokonya tapi ini tiba-tiba turun dari singgasananya khusus melayani pembeli "pengemis" itu. Apa jawab pemilik toko itu ketika para pelayannya bertanya. Dengan bibir bergetar seperti menahan haru, sang pemilik toko berkata: "Pembeli tadi sangat istimewa, dia telah menabung berhari-hari hanya untuk membeli sepotong manju. Karena itu, saya perlakukan dia istimewa pula".
Pesan moral dari cerita itu kalau dianalogikan adalah para anggota Polri ibarat tuan pemilik toko itu dalam melayani masyarakatnya, yang umumnya kebanyakan dari kalangan bawah, wong cilik, orang susah,  yang tertimpa musibah, kaum tak berpunya, melarat, mereka sangat  haus akan sepotong keadilan seperti dahaganya pembeli miskin yang menabung berhari-hari untuk memperoleh sepotong manju itu.
Saya yakin Listyo Sigit dapat mewujudkan transformasi Polri itu sehingga dapat meningkatkan kinerja Polri sebagai pengayom dan pelindung dan juga jangan lupa sebagai pengawas dan pemaksa. Paling tidak seperti motto kerja polisi Eropa "vigilat quisqant" yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai ; "Polisi berjaga sepanjang waktu agar masyarakat bisa beraktivitas dengan nyaman".Â
Tentu kita tidak bisa hanya menuntut Polri saja tapi juga perlu dan harus diperhatikan personel Polri yang beranggotakan 430.000 lebih itu sehingga mereka "well motivated, well educated, well equapated, dan welfare". Selamat bertugas Jenderal. Kami yakin Polri akan membuka lembaran baru dengan tinta emas. Sejarah akan menjadi saksi. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI