Mohon tunggu...
Isharyanto Solo
Isharyanto Solo Mohon Tunggu... Penulis

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dana Transfer dan Pertanyaan Kapasitas Otonomi

12 Oktober 2025   03:26 Diperbarui: 12 Oktober 2025   03:26 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah mengambil langkah signifikan dengan melakukan pemotongan dana transfer ke daerah, sebuah kebijakan yang menyentuh langsung sumber pembiayaan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Keputusan ini didasarkan pada hasil penghitungan kemampuan fiskal masing-masing daerah, dengan argumen bahwa pemerintah pusat perlu memastikan setiap pemerintah daerah tetap mampu menjalankan Standar Pelayanan Minimal (SPM)---yakni tolok ukur kinerja pelayanan dasar yang wajib dipenuhi oleh setiap daerah otonom. Logika di balik kebijakan ini terdengar rasional: efisiensi anggaran, distribusi yang lebih merata, dan penguatan akuntabilitas fiskal daerah.

Namun di balik rasionalitas teknis tersebut, muncul pertanyaan yang tidak kalah mendasar. Apakah pendekatan ini benar-benar mencerminkan semangat otonomi daerah yang diamanatkan oleh konstitusi? Apakah kemampuan fiskal yang diukur secara agregat mampu menangkap kompleksitas kebutuhan riil di lapangan? Dan lebih jauh lagi, apakah kebijakan ini justru menyimpan risiko melemahkan kapasitas daerah dalam memberikan layanan publik yang berkualitas, alih-alih memperkuatnya?

Mari kita bahas.

Otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bukan sekadar pendelegasian kewenangan administratif. Ia adalah desentralisasi kekuasaan yang memberi ruang bagi daerah untuk mengelola sumber daya dan membuat kebijakan sesuai dengan kebutuhan lokal. Salah satu pilar utama otonomi ini adalah kemandirian fiskal, yang sebagian besar bersumber dari transfer pusat. Ketika transfer tersebut dipotong dengan dalih efisiensi, yang sesungguhnya terjadi adalah penyempitan ruang gerak daerah untuk berinovasi dan merespons kebutuhan warganya secara langsung. Profesor Paul Smoke dari Universitas New York, seorang pakar desentralisasi fiskal, pernah mengingatkan bahwa pengurangan transfer tanpa memperkuat kapasitas pendapatan asli daerah justru akan menciptakan ketergantungan baru yang lebih buruk: ketergantungan pada kebijakan sentralistik yang kaku.

Kemampuan fiskal yang diukur oleh pemerintah pusat cenderung berbasis data makro, seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Data-data ini memang penting, namun tidak selalu sensitif terhadap kondisi geografis, demografis, dan sosial yang sangat beragam di Indonesia. Sebuah kabupaten di Papua dengan wilayah terpencil, infrastruktur minim, dan biaya operasional tinggi tidak bisa disamakan dengan kabupaten di Jawa yang memiliki akses lebih mudah dan ekonomi lebih dinamis. Pemotongan dana transfer yang seragam, meski didasarkan pada perhitungan matematis, bisa jadi mengabaikan fakta bahwa biaya penyediaan layanan publik di daerah terpencil jauh lebih mahal. Hal ini sejalan dengan kritik yang disampaikan oleh Roy Bahl, ekonom publik dari Georgia State University, yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal tanpa mempertimbangkan disparitas geografis hanya akan memperlebar kesenjangan antardaerah.

Lebih lanjut, standar pelayanan minimal yang menjadi acuan pemerintah pusat dalam menentukan besaran transfer sebenarnya menyimpan paradoks tersendiri. Standar ini dirumuskan secara normatif, namun implementasinya sangat bergantung pada konteks lokal. Misalnya, standar kesehatan yang sama diterapkan di kota besar dengan fasilitas rumah sakit lengkap dan di desa terpencil yang hanya memiliki puskesmas dengan tenaga medis terbatas. Ketika dana dipotong dengan asumsi bahwa daerah sudah mampu memenuhi standar tersebut, yang terjadi adalah tekanan ganda: daerah harus memenuhi target nasional dengan sumber daya yang semakin terbatas. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan distributif. Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi, pernah menekankan bahwa keadilan dalam kebijakan publik tidak bisa hanya diukur dari angka agregat, tetapi harus dilihat dari kemampuan individu dan komunitas untuk mencapai fungsi-fungsi dasar kehidupan mereka.

Ada pula dimensi politik yang tidak bisa diabaikan. Pemotongan dana transfer dapat dimaknai sebagai bentuk sentralisasi kembali kekuasaan fiskal di tangan pemerintah pusat. Dalam konteks ini, daerah kehilangan leverage untuk bernegosiasi atau menentukan prioritas pembangunannya sendiri. Ketika pusat menentukan berapa banyak dana yang layak diterima daerah berdasarkan penilaian sepihak, maka relasi pusat-daerah tidak lagi bersifat partneriatif, melainkan hierarkis. Ini bertentangan dengan semangat demokrasi lokal yang menjadi jiwa dari reformasi otonomi daerah di Indonesia. James Manor, peneliti dari Institute of Development Studies, mengingatkan bahwa desentralisasi yang efektif memerlukan kepercayaan antara pusat dan daerah, bukan kontrol yang ketat dari atas.

Kebijakan ini juga berpotensi menciptakan pergeseran tanggung jawab yang tidak adil. Ketika dana dipotong, daerah sering kali dipaksa mencari sumber pendanaan alternatif, yang dalam banyak kasus berujung pada peningkatan pungutan lokal atau pajak daerah. Meskipun secara teori ini bisa meningkatkan kemandirian fiskal, dalam praktiknya beban tersebut justru jatuh kepada masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang paling rentan terhadap kenaikan biaya hidup. Dengan kata lain, efisiensi anggaran di tingkat pusat bisa berubah menjadi beban sosial di tingkat lokal. Ini adalah contoh dari apa yang disebut oleh ekonom Joseph Stiglitz sebagai "eksternalitas negatif" dari kebijakan fiskal yang tidak komprehensif.

Tentu saja, ada argumen bahwa pemotongan ini diperlukan untuk mengoreksi ketidakefisienan di daerah, di mana sebagian anggaran transfer digunakan untuk keperluan yang tidak produktif atau bahkan rawan penyalahgunaan. Namun, solusi terhadap masalah tata kelola bukan dengan mengurangi sumber daya, melainkan dengan memperkuat sistem pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas. Pemotongan dana justru bisa memperburuk kualitas layanan publik, yang pada akhirnya merugikan rakyat, bukan elite birokrasi yang menjadi sasaran kritik. Ini adalah kesalahan kategori: mengobati gejala dengan cara yang justru memperparah penyakit.

Yang juga perlu dipertimbangkan adalah dampak jangka panjang terhadap kepercayaan publik terhadap sistem desentralisasi itu sendiri. Jika daerah terus-menerus merasa bahwa otonomi mereka dikebiri oleh kebijakan fiskal yang tidak adil, maka legitimasi sistem pemerintahan desentralisasi akan terkikis. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan bahwa pemerintah daerah mereka memiliki kewenangan riil untuk memperbaiki kehidupan mereka. Ini bukan hanya soal angka anggaran, tetapi juga soal kepercayaan terhadap institusi demokrasi lokal.

Barangkali, yang hilang dari perhitungan teknis pemerintah pusat adalah pemahaman bahwa otonomi daerah bukan hanya soal efisiensi fiskal, tetapi juga soal martabat dan kapasitas lokal untuk menentukan nasibnya sendiri. Pemotongan dana transfer, betapapun rasionalnya secara administratif, tetap membawa risiko melemahkan fondasi demokrasi lokal dan memperlebar jurang antara pusat dan daerah. Pertanyaannya bukan apakah daerah mampu bertahan dengan anggaran yang lebih kecil, tetapi apakah kita sebagai bangsa siap menanggung konsekuensi dari kebijakan yang mungkin mengikis semangat otonomi yang telah kita bangun selama lebih dari dua dekade.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun