Mohon tunggu...
Iwan Dani
Iwan Dani Mohon Tunggu... Freelancer - Music for humanity

Untuk segala sesuatu ada waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Omnibus Law Memang Undang-Undang Gila!

9 Oktober 2020   12:46 Diperbarui: 9 Oktober 2020   14:16 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR tanggal 5 Oktober 2020 adalah 1 dari 2 atau 3 UU yang disebut Jokowi sebagai Omnibus Law. Bagi orang awam bahkan juga bagi orang yang berpendidikan hukum istilah ini masih sangat asing. 

Jokowi pada pidato pelantikannya sebagai Presiden RI 2019-2024 memperkenalkan istilah ini ke publik dan sejak itu banyak orang memperbincangkannya. Secara singkat Omnibus Law bisa dijelaskan sebagai undang-undang lintas sektoral yang merangkum semua peraturan-peraturan terkait sebuah isu besar. UU Cipta Kerja adalah produk pertama omnibus law yang merangkum dan menyederhanakan semua aturan terkait iklim berinvestasi atau melakukan usaha di Indonesia.

Kalau saya menyebut omnibus law ini gila karena alasan-alasan ini:

1. Ada 79 undang-undang yang ditinjau kembali dirangkum menjadi 1 undang-undang.

2. Ada 11 klaster yang dikaji dan diatur untuk menjadi lebih sederhana

Hasilnya adalah UU Cipta Kerja setebal 905 halaman (berikut penjelasannya).

Mengapa Jokowi sangat ngotot agar Indonesia memiliki Omnibus Law?

Saya pikir memang perlu pemimpin "gila" untuk menghasilkan sesuatu yang "gila".

Jokowi memang bukan tipe pemimpin yang mencari kenyamanan, dia adalah pemimpin yang melihat ke depan. Dia punya visi Indonesia Emas. Kita tahu bahwa ada begitu banyak aturan yang dibuat di Indonesia yang kalau mau jujur aturan itu kebanyak berakhir di atas kertas saja. Ada UU, ada PP, ada Permen belum lagi Perda Provinsi, Perda Kota/Kabupaten. Apakah dengan banyaknya aturan berarti masyarakat Indonesia sudah menjadi sangat tertib? 

Kalau mau jujur sih, kebanyakan aturan-aturan itu justru jadi lahan korupsi. Ada banyak meja yang harus dilalui untuk memulai usaha di Indonesia. Belum lagi aturan itu tumpang tindih tidak karuan. Dengan adanya Omnibus Law cukup 1 produk hukum saja yang menjadi acuan. Ini menjamin kepastian hukum dan mencegah aparat penyelenggara untuk bermain-main dengan aturan.

Ini memang ide gila! Ini akan mengganggu periuk nasi para pejabat atau para elite politik yang selama ini bermain-main dengan aturan untuk kepentingannya sendiri. Tetapi Indonesia memang butuh pemimpin yang "gila" yang berani melakukan terobosan agar Indonesia tidak terjebak pada "Middle Income Trap", negara berpendapatan menengah. Indonesia perlu lompatan untuk bisa menjadi negara maju.

Mengenai UU Cipta Kerja

Banyak yang menyoroti Omnibus Law Episode I ini sangat merugikan kaum buruh. Pertanyaannya kaum buruh yang mana? Apakah buruh yang dimaksud adalah buruh pabrik yang pekerjaannya bersifat rutin seperti buruh di pabrik rokok tugasnya melinting rokok? Buruh tani yang tugasnya menggarap lahan? Buruh di pabrik elektronik yang tugasnya mengepak barang?

Ini memang tidak akan ketemu kalau paradigma buruh yang dimaksud adalah buruh dengan keterampilan rendah yang hanya mengerjakan 1 atau 2 pekerjaan rutin yang sama setiap hari. Dan sungguh jahat kalau mengharapkan generasi muda kita menjadi buruh dengan keterampilan rendah. 

Tantangan ke depan adalah Revolusi Industri ke-4 di mana kebutuhan buruh yang hanya bisa melakukan pekerjaan rutin yang sama tiap hari akan jauh berkurang. Mereka aka dengan segera tergantikan dengan mesin. Visi Pak Jokowi itu di masa depan generasi muda Indonesia memiliki keterampilan lebih bahkan memiliki jiwa wirausaha, bukan sekedar menjadi buruh yang minim keterampilan. 

Jadi UU ini paradigmanya adalah pengusaha, bagaimana Indonesia memiliki banyak pengusaha muda. Industri pabrik yang padat karya sudah tidak bisa diandalkan untuk menampung tenaga kerja. Industri sudah berubah. Buruh-buruh dengan minim keterampilan akan diganti oleh robot. Sekali lagi paradigmanya bukan buruh, paradigmanya adalah entrepreneur. Memangnya kalian tega menjadikan rakyat Indonesia menjadi buruh sepanjang masa?

Paradigma ini yang tidak dipahami oleh adik-adik mahasiswa. Mereka masih terkungkung dengan mindset "pegawai/karyawan/buruh". Setelah lulus cita-citanya menjadi karyawan. Tidak ada keberanian untuk menjadi entrepreneur. Ini berbenturan dengan visi Jokowi agar generasi muda kita tampil menjadi generasi unggul di era teknologi digital.

Namun walau demikian apakah benar UU Cipta Kerja ini akan menyengsarakan buruh? Berikut isu-isu yang muncul:

Soal Jam Kerja

Tuduhan: buruh harus bekerja lebih lama dan pasal yang dimasalahkan adalah Pasal 77, 78 dan 79.

Saya kutip pasal tersebut:

Pasal 77
(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
        a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
        b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menurut saya, tidak ada yang berubah kok tentang jam kerja, masih 40 jam per minggu. Namun ada yang polanya 6 hari kerja seminggu dan ada yang 5 hari kerja seminggu. Ini biasa kok. Kenapa dibilang jam kerja menjadi lebih lama?

Kemudian Pasal 78 soal lembur.

Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
membayar upah kerja lembur.

(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ada yang bilang jam lembur buruh menjadi lebih lama menjadi 18 jam per minggu karena di aturan sebelumnya maksimal jam lebur hanya 14 jam per minggu. Yang menuduh kurang membaca secara utuh UU ini. Ingat bahwa jam kerja sudah dipatok 40 jam per minggu. Nah lembur ini jika perusahaan (dan sebenarnya pekerja juga untuk tambahan upah) memerlukannya dan sifatnya tidak wajib karena harus ada persetujuan 2 belah pihak. 

Kerja lembur ini dibayar secara khusus, ada uang lembur. Kemudian yang ditambahkan di UU ini adalah maksimum jam lembur yang diperbolehkan, yakni 18 jam per minggu dan per hari tetap, maksimalnya 4 jam per hari. Ini untuk menghindari eksploitasi buruh/karyawan juga menghindari karyawan yang menginginkan kerja lembur supaya mendapat tambahan gaji. 

Jadi yang ditambahkan itu maksimal jam lemburnya, itu tidak berarti buruh/pekerja harus bekerja lembur 18 jam per minggu ! Jika ada yang menyimpulkan seperti itu sepertinya harus belajar Bahasa Indonesia lagi!

Soal Cuti

Tuduhan : hak cuti pekerja/buruh dikurangi.

Yang dipersoalkan adalah pasal 79

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi: 

a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Yang dipersoalkan adalah ayat 2.b istirahat mingguan : kok hanya 1 hari untuk yg enam hari kerja ? Bagaimana yang 5 hari kerja ? 

Dalam 1 minggu itu kan ada 7 hari, jadi kalau bekerja 5 hari kan masih ada sisa 2 hari. Lha, 2 hari itu apa, apakah itu bukan hari istirahat ? 

Bagaimana kalau 2 hari itu juga harus lembur ? 

Lho kan lembur sudah diatur ada maksimal jam per minggunya. Lagi pula kan ada uang lembur..

Kemudian ada yang mempersoalkan soal cuti panjang yang di UU lama ada aturannya. Berikut bunyi UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 79 ayat 2.d

(2). d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Dulu pekerja bisa mengajukan istirahat panjang minimal 2 bulan yang dilaksanakan pada tahun ke-7 dan tahun ke-8 bagi pekerja yang sudah bekerja selama 6 tahun berturut-turut di perusahaan yang sama. Aturan ini sebenarnya tidak terlalu signifikan bagi buruh/pekerja. Saya yang punya pengalaman kerja selama 23 tahun di KG hanya memanfaatkan sekali cuti panjang dan itu pun tidak full 2 bulan. 

Aturan ini sebenarnya konyol karena 2 tahun berikutnya dia tidak berhak cuti tahunan. Saya rasa cuti panjang ini tidak terlalu dibutuhkan para buruh/pekerja, ngapain cuti 2 bulan di rumah aja. Jadi saya juga heran kalau ada orang yang menginginkan aturan ini tetap ada. Tetapi UU Cipta Kerja tetap membuka kemungkinan aturan cuti panjang tetap ada dan diatur di perjanjian kerja menyesuaikan kebutuhan perusahaan.

Bagaimana dengan cuti haid ? Masalah haid ada di pasal 81 yang tidak dihapus jadi masih berlaku.

Soal Upah

Ini isu sensitif dan mudah dijadikan sebagai umpan untuk menyulut emosi para buruh. Yang disebarkan adalah : upah buruh dikurangi, pengusaha bisa memberi upah seenak udelnya, buruh menjadi menderita. UU Cipta Kerja memang menghilangkan Pasal 89 dan 90 tentang Upah Minimum Provinsi/Kota/Kabupaten dan Upah Minimum Sektoral Provinsi/Kota/Kabupaten. Lalu orang ribut sekarang UMR tidak ada lagi. Yang ribut itu apakah tidak melihat ada sisipan pasal 88C, 88D, 88E ? Upah minimum tetap diatur kok dan kewajiban Gubernur untuk menetapkan upah minimum.

Hal yang positif dari UU Cipta Kerja ini adalah dukungannya terhadap UMK (Usaha Mikro dan Kecil). Upah minimum tidak berlaku untuk UMK. Jadi di sini terlihat bahwa UU Cipta Kerja ini mendorong masyarakat untuk berani berusaha, mulai dengan usaha Mikro. Kebayang nggak kalau usaha mikro yang barus mau dirintis harus dibebani menggaji karyawan dengan UMR. Mana bisa hidup ? Kalian tanyalah penjual sate di pinggir jalan berapa gaji orang yang bekerja pada si tukang sate. Gak mungkinlah mereka menuntut UMR.

Itu isu-isu utama yang saya kira sering diorasikan oleh para pendemo. Isu lainnya tentang lingkungan hidup, ya biar orang lain yang menjelaskan.

Apakah UU Cipta Kerja Sudah Sempurna?

Ya, nggak lah. Mana ada produk manusia yang sempurna. Justru semakin cepat UU Cipta Kerja disahkan, akan semakin banyak waktu bagi masyarakat untuk menilai. Jika memang ada kesalahan/kelemahan bisa dilakukan judicial review melalui MK.

Saya sih mencoba memahami jalan pikiran Pak Jokowi kenapa Omnibus Law harus sekarang di tengah pandemi pula. UU ini mengandung hal-hal sensitif yang mungkin sekali dipakai oleh lawan-lawan politiknya untuk menggoyang dia. Jadi mau tahun ini atau tahun depan, UU ini pasti akan menghadapi penolakan. Kalau sudah diundangkan, UU ini sudah menjadi milik publik dan publik secara terbuka bisa mengkristisinya. 

Apakah ini sikap otoriter? Ya, enggaklah. Kita ini sekarang sudah jadi negara demokrasi yang paling bebas. Mau mengkritik, menghina pemimpin rasanya publik bebas-bebas saja. Sayangnya banyak orang yang dengan mudah terpancing provokasi dan hoaks. Tidak tahu masalahnya yang penting anti Jokowi.

Kalau saya sih melihat Jokowi ini sedang meletakkan dasar bagi Indonesia untuk maju. Dia melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak mau diambil oleh pemimpin sebelumnya:

1. Menyiapkan infrastruktur dari Aceh hingga Papua.

2. Mempersiapkan industri unggulan seperti industri kreatif dan wisata

3. Menguasai kembali tambang-tambang penting dari asing dan kroni Orde Baru

4. Dan sekarang menyiapkan infrastruktur hukum agar iklim usaha semakin kondusif.

Jadi, silakan kritisi langkah-langkah Jokowi tapi jangan menyebar hoaks. 

Adik-adik mahasiswa kalau mau berdemo, bekalilah dulu pengetahuan kalian jangan hanya berpatokan isu dari sumber tak jelas.

Semoga Indonesia menjadi lebih maju!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun