Mohon tunggu...
Irwansyah Saputra
Irwansyah Saputra Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

Belajar itu harus, pintar itu bonus.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sains, Agama, dan Atheisme

26 Juni 2020   14:31 Diperbarui: 11 Juni 2021   12:39 7475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prolog

Meniadakan peran tuhan dalam kehidupan itu sangat mungkin untuk dilakukan. Kenapa? Karena memang Tuhan tidak terlihat. Logika sederhananya seperti ini.

Saat di hadapan kita ada gelas lalu kita berkata pada orang lain "tidak ada gelas di depan saya", maka orang tersebut tidak akan percaya karena pada faktanya kebenaran "adanya gelas disitu" bisa dibuktikan secara empiris. Berbeda dengan Tuhan, karena Dia tidak terlihat, maka mudah saja menganggap jika Dia tidak ada.

Lagi pula, saat mengatakan Tuhan itu tidak ada, semua kehidupan tetap normal kan? Api tetap panas, orang yang tertabrak mobil akan tetap terluka, jatuh di aspal tetap sakit, dan lain sebagainya.

Semua hukum fisika tetap berjalan walaupun kita menegasikan peran tuhan dalam kehidupan ini. Betulkan? Apakah saat kita bilang tuhan itu tidak ada, lantas bumi langsung berguncang? Gunung berapi langsung meletus?. Seakan-akan tuhan marah dan membuktikan eksistensiNya. Tidak kan?

Jadi pada faktanya, secara ilmiah, hasil riset saintis akan bisa menjelaskan kenapa suatu fenomena bisa terjadi, dari kacamata sains. Tanpa melibatkan peran Tuhan itu mungkin saja dilakukan. Letak perbedaan pola pikir antara saintis dan agamawan adalah bagaimana mereka memandang fenomena alam ini dari kacamata masing-masing. 

Paradigma Berpikir Saintis (Atheisme) dan Agama

Saintis (yang atheis), saat melakukan riset dan terbukti kebenarannya, ia meyakini hasil penelitiannya dapat dibuktikan walaupun tanpa adanya Tuhan. Seperti halnya saat menjelaskan bagaimana air bersih yang kita minum dapat berubah menjadi zat cair kotor yang disebut air kencing. 

Saintis berpandangan kalau hal tersebut bisa dibuktikan secara ilmiah, adanya proses yang berurutan mulai dari air tersebut masuk ke dalam tubuh lalu diproses sedemikian rupa sehingga berubah menjadi air kencing. Jadi, saintis yang atheis ini merasa tidak perlu adanya Tuhan untuk membuktikan kebenaran empiris terkait proses tersebut. 

Beda halnya dengan agamawan, pandangannya terhadap proses air minum tadi tidak hanya sampai pada proses berubahnya air minum menjadi air kencing. Mereka meyakini adanya kekuasaan mutlak yang dapat mengatur proses tersebut sebagai tanda kekuasanNya. 

Fenomena yang terjadi di alam semesta merupakan tanda-tanda untuk membuktikan wujud kehebatan sang pencipta. Ibaratnya "alam semesta yang ciptaanNya aja hebat gini, gimana penciptanya". 

Baca juga: Atheisme Modern

Saat fenomena alam semesta dapat dibuktikan oleh metode ilmiah, justru hal tersebut agar menambah rasa syukur terhadap pencipta dan semakin meyakini keberadaanNya. 

Karena manusia yang memiliki pola pikir logis, maka tanda-tanda untuk memperlihatkan wujud Tuhan juga harus logis, masuk akal manusia. Bukan malah menjadikan manusia berkesimpulan "tanpa adanya Tuhan pun, proses ini bisa tetap berjalan kok".

Masalahnya adalah banyaknya gugatan para atheis terhadap orang-orang yang theis, begitu juga sebaliknya. Sebagian orang-orang Atheis yang dijumpai di sosial media melayangkan berbagai gugatan terkait orang-orang theis yang sukanya berperang atas nama agama, kaum yang tidak melek sains, pandir, terbelakang, terkekang aturan kuno agama dan lain sebagainya. 

Begitu juga sebagian kaum theis yang menggugat balik bahwa para atheis itu hanyalah kumpulan orang-orang yang tidak meyakini keberadaaan tuhan hanya karena malas ibadah saja.

Atheis, Non Theis dan Anti Theis

Sebelum kita bahas bagian gugatan tersebut, kita harus pahami perbedaan antara atheis, non theis dan anti theis. 

Atheis adalah orang yang hidupnya tidak meyakini tuhan hanya karena tidak membutuhkanNya. Dia tidak berpikir fokus secara mendalam untuk membuktikan ketiadaan wujud tuhan, hanya meyakini tuhan itu tidak ada. Model seperti ini banyak ditemukan di daerah China, Jepang, Korea, bahkan masyarakat barat pun menuju migrasi besar ke arah sana. 

Non theis adalah orang yang punya pola pikir "cukup tidak menggunakan tuhan". Menghilangkan keberadaan tuhan dan berpikir alam semesta ini diatur oleh hukum tertentu, seperti halnya agama Buddha yang disebut dengan agama non theis. Tuhan disini diistilahkan sebagai pencipta alam semesta.

Anti theis adalah orang atheis yang dapat membuktikan tidak adanya Tuhan berdasarkan pemikiran panjang terhadap segala sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris, sekaligus menggugat berbagai hal yang diyakini oleh orang-orang theis. 

Tidak cukup puas hanya menjadi atheis, mereka pun berfokus untuk mengajak orang lain berpikir ulang tentang asal mula alam semesta ini dan pembuktiannya secara empiris bahwa tidak adanya Tuhan dalam peran penciptaan. 

Model yang seperti ini juga banyak ditemukan, sebagian menulis buku "perontok keimanan", sebagian lagi bergerilya di sosial media dengan membuat komunitas dan grup-grup dengan tujuan yang serupa. 

Berbagai Gugatan Klasik

Pertama kita bahas gugatan yang dilayangkan sebagian kaum anti theis terhadap kaum theis yang disebut oleh mereka sebagai orang pandir, terbelakang, sering perang atas nama agama, kekanak-kanakan, menanggalkan baju sains hanya untuk hukum agama yang bersifat "meaningless". 

Baca juga: Atheisme, Kita Semua Andil dalam Menciptanya

Sebenarnya gugatan ini sebagian berasal dari sedikitnya sampel yang diambil, dan hipotesis penuduh yang belum diklarifikasi oleh yang tertuduh. Memang faktanya banyak orang-orang theis yang terbelakang, pandir dan keadaan negatif lainnya, tapi bukan berarti sampel tersebut bisa diinferensiasikan terhadap populasi. 

Saat kita ingin mengetahui kualitas 10 ribu botol sirup, kita tidak bisa hanya mencicipi 5% dari populasi untuk menentukan kualitas populasi itu. Artinya, semakin sedikit sampel yang dijadikan bahan riset, semakin sempit juga kesimpulan yang didapatkan, bahkan sama sekali tidak mewakili populasi. 

Gugatan seperti ini juga menghilangkan peran para cendikiawan dari kalangan theis yang memproses sulitnya dalil-dalil agama menjadi suatu hukum yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Para cendikiawan tersebut mencoba menangkap pesan yang Tuhan sampaikan lewat ayat-ayatNya agar bisa dipahami dan dijalankan dengan baik oleh umatNya. 

Proses tersebut tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Andai para penggugat itu mau baca lebih banyak, bagaimana sulitnya sebuah mazhab yang disebut dengan mazhab hanafi dalam memproses dalil menjadi suatu hukum, karena mazhab ini terkenal dengan penggunaan akal yang luar biasa. Bahkan Imam syafi'i pun berkata "belajar mazhab hanafi sangatlah sulit". 

Para imam mazhab ini bukanlah orang pandir, bodoh seperti yang digugat oleh mereka. Penggunaan akal mereka dalam menangkap pesan-pesan dari Tuhan untuk ditransliterasikan menjadi hukum praktis, tidak bisa disepelekan hanya karena banyaknya kalangan non theis yang pandir atau bodoh dalam menggunakan akal mereka. 

Tidak semua orang yang theis memahami agama secara tekstual saja, akal (dalam pemahaman theis) juga sama pentingnya dengan teks wahyu yang diturunkan oleh Tuhan.

Jaringan Analitik dan Jaringan Empatik

Sebuah riset telah dilakukan oleh Dr. Tony Jack, seorang professor dalam bidang filsafat sekaligus Neuroscience dan Professor Julie Exline, seorang professor psikologi. 

Dalam riset tersebut beliau mengatakan antara sains dan agama memberikan jalur yang valid untuk mendapatkan pengetahuan. Artinya, istilah hukum agama yang disebut oleh Atheis bersifat "meaningless", tidak lagi boleh disebut seperti itu. 

Jack menghubungkan orang-orang ke mesin MRI untuk melihat bagian otak mana yang menyala ketika mereka diminta untuk memecahkan masalah fisika vs memahami situasi sosial. 

Hasilnya membuktikan ternyata kita memiliki dua jalur syaraf yang berbeda, dan sifatnya saling bertentangan (pantas saja kaum saintis yang atheis sering ribut dengan kaum agamawan). 

Otak pertama memiliki jaringan yang disebut dengan jaringan analitis yang digunakan untuk berpikir secara kritis. Otak yang lainnya memiliki jaringan yang disebut dengan jaringan empatik yang menjadikan otak kita bisa lebih berempati dan tertarik pada alasan yang sifatnya moralis. 

Menurut Jack, kedua fungsi otak tersebut saling eksklusif. Saat satu jaringan aktif, maka jaringan yang lain akan non aktif. Jack juga melanjutkan bahwa hal tersebutlah yang mungkin bisa menjelaskan persaingan antara agama dan sains. 

Bagaimana kita bisa mengetahui dominan otak kita? Caranya adalah dengan pengalaman terbanyak kita sebelumnya. Orang-orang yang sudah mempelajari agama sejak lama seperti di pesantren, maka jaringan empatiknya akan lebih kuat dibandingkan jaringan analitis. 

Baca juga: Mendagri, Atheisme, Komunisme, Leninisme dan Marxisme

Inilah kenapa orang-orang yang percaya terhadap agama tidak terlalu tertarik pada sains atau sesuatu yang coba dibuktikan secara empiris oleh para saintis. 

Tapi apa yang dipelajari oleh agamawan tersebut bukan berarti "meaningless" hanya karena tidak bisa dibuktikan secara empiris. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, baik sisi sains atau agama, keduanya adalah jalur valid untuk mendapatkan pengetahuan.

Hasil penelitian tersebut linear dengan apa yang sudah diucapkan oleh seorang filosof besar berkebangsaan Jerman, yaitu Immanuel Kant. Kant beranggapan bahwa ada dua jenis kebenaran yaitu kebenaran secara empiris dan kebenaran secara moral. Teori moral Kant disusun berdasarkan gagasan bahwa bertindak secara moral dan bertindak sesuai dengan akal adalah sama saja.

Penutup

Adanya konflik antar jaringan tersebut sudah terjadi di otak kita, namun bukan berarti kita dapat menyalahkan orang lain yang memiliki jaringan lebih dominan yang tidak sama dengan jaringan dominan kita. 

Saat satu jaringan aktif, maka yang lainnya akan non aktif, ini membuktikan setiap orang akan memiliki kecenderungan terhadap satu jaringan otak saja. 

Jadi akan muncul dua tipe manusia, yaitu orang yang bernalar secara empiris dengan segala sesuatunya dan tipe orang yang percaya terhadap hukum-hukum moral seperti agama (tanpa menanggalkan akal dalam memahaminya).

Kedua jaringan tersebut tidak menunjukkan adanya persaingan bahwa jaringan yang satu lebih baik dari jaringan yang lainnya.  

Sumber bacaan:

iep.utm.edu | psychsciences.case.edu | psychologytoday.com | brainmindconsciousness.com | wksu.org

Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun