Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Atheisme, Kita Semua Andil dalam Menciptanya

10 Desember 2018   20:50 Diperbarui: 10 Desember 2018   20:56 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : old.ppidunia.org

Fenomena Atheisme merebak memang pasca hancurnya filsafat Negara-Tuhan, ketika individu menjadi obyek dalam pemikiran. Diyakini bahwa individulah sebagai faktor terpenting kemajuan peradaban, diluar para pemikiran liberalisme dan segala kajian yang menitikberatkan pada individualisme, itu merupakan benar. 

Namun hal tersebut tidak meniadakan secara langsung dan massif terkait perihal keagamaan, keyakinan pada Sang Maha Kuasa, terutama kali pada daerah Asia, dimana perihal keyakinan sangat dekat dengan masyarakat. Peribadatan dan segala upacaranya sudah menjadi mobilisasi umum di masyarakat Timur. Walaupun bukan berarti ide dan keyakinan atas ketidakpercayaan terhadap adanya Maha Kuasa tidak ada di masyarakat Timur.

Atheisme di Indonesia, perkembangan dan kapan serta melalui apa awalnya, belum ditemukan penjelasan secara runtut dan ilmiah, sejauh ini saya belum menemukan literature yang membahas hal tersebut. 

Dalam lingkungan sehari-hari, yang saya temukan hari ini, mayoritas atheisme dipeluk oleh kalangan remaja 19 tahun hingga 20an. Beberapa alasan mereka ungkapkan mengenai mengapa mereka lebih memilih atheisme daripada memeluk salah satu agama. Diantaranya adalah

  • Budaya masyarakat beragama yang jauh dari realitas kehidupan bermasyarakat. Alasan ini ditujukan kepada masyarakat beragama yang hanya sibuk untuk memperbanyak beribadah, dan selalu sibuk dengan beribadah, yang menurut mereka itu hanya untuk "menyelamatkan diri" di akhirat tanpa melihat realitas yang terjadi didepan batang hidungnya, seperti kemiskinan, kelaparan, kebodohan dan lain sebagainya.
  • Masyarakat beragama selalu saling mempengaruhi dan berebut pengaruh. Mereka melihat masyarakat beragama hanya sibuk saling berebut pengaruh, merebut "paling banyak" pengikut, yang tak jarang mengakibatkan konflik horizontal antar pemeluk agama. Hal tersebut pun tertulis secara historis bagaimana tak sedikit perang terjadi dengan latar belakang agama. Dan tak jarang sebagian kelompok agama mencoba untuk menghidupkan hal itu kembali diera saat ini.
  • Masyarakat beragama yang selalu merasa paling benar. Mereka melihat masyarakat agama tak jarang selalu menghakimi mereka yang tak sepaham dengannya.

Satu fenomena pernah saya temui adalah agnostik atau mereka yang tak memeluk agama, namun mereka percaya kepada tuhan (sederhananya seperti itu). Individu yang saya temui tersebut beralasan kenapa lebih memilih menjadi agnostik adalah karena dirinya yang selalu dihakimi di tengah masyarakat karena dia "berbeda" dari kita secara umum, diskriminasi dia sering dapati. 

Dia banyak berkelana ke berbagai daerah dan banyak memperlajari agama-agama yang ada di Indonesia. Individu tersebut akhirnya mengamini adanya Tuhan dan menganggap semua agama adalah benar dan lebih memilih untuk tidak memeluk agama satupun.

Tidak sedikit alasan Atheisme ataupun Agnostik muncul karena pengalaman empiris yang diskriminatif, terutama muncul dari lingkungkannya sendiri. Fenomena seperti ini ada di sekeliling kita, namun terkadang kita lebih memilih untuk menutup mata dan secara serta merta melakukan penghakiman bahwa mereka adalah salah dan sesat tanpa melihat latar belakang kenapa saudara kita lebih memilih menjadi Atheisme ataupun Agnostik.

Fenomena seperti ini menjadi sebuah kritik terhadap orang yang mengaku beriman. Wajah keagamaan kita yang jauh dari kemanusiaan ternyata berhasil menghilangkan simpati bagi sekelompok masyarakat, dan memang tidak bisa kita menyalahkan mereka, itulah ujaran-ujaran jujur yang disampaikan  kepada para agamawan dan harus diterima sebagai sebuah kritik yang membangun. 

Memang, tidak semua penceramah dalam mengisi ceramah dengan materi yang mungkin berisi tendsi pada kebencian, politik praktis, bahkan hanya berisi "menyelamatkan diri sendiri". 

Namun, hanya sebagian kecil dari penceramah yang demikian, dan lebih memilih jalur bawah tanah, bahkan materi yang anti-mainstream mengakibatkan mereka kurang popular dalam khalayak luas. Dan "pasar" lebih memilih para penceramah yang "agama-snob", "Hijrah-snob".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun