Angka 10.799 ATS Kabupaten Wajo bukan sekadar data, tapi panggilan nurani untuk pendidikan inklusif.
Ada angka yang tidak boleh kita abaikan: 10.799. Bagi sebagian orang, itu hanyalah statistik administratif. Namun bagi Wajo, angka ini adalah wajah, cerita, dan masa depan yang tertunda---anak-anak yang belum sekolah, putus sekolah, atau lulus tapi tidak melanjutkan pendidikan (ats.data.kemendikdasmen.go.id).
Di Tempe, Tanasitolo, dan Pammana, anak-anak mestinya belajar berhitung atau menulis karangan tentang cita-cita. Kenyataannya, sebagian dari mereka menghitung hasil jualan di pasar atau menuliskan utang di warung. Inilah ketimpangan pendidikan yang nyata, muncul bukan di laporan, tetapi di kehidupan sehari-hari.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara (Pasal 31 UUD 1945). Paulo Freire menekankan pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi alat pembebasan dan pemberdayaan kesadaran kritis (Pedagogy of the Oppressed, 1970). Anak-anak yang tak bersekolah kehilangan kesempatan memahami dunia dan posisi mereka di dalamnya.
Kemiskinan menjadi salah satu akar masalah. BPS Wajo mencatat tingkat kemiskinan 6,47% (2024), tertinggi di wilayah dengan jumlah ATS terbanyak (wajokab.bps.go.id). Amartya Sen menegaskan bahwa kemiskinan bukan hanya soal pendapatan, tetapi keterbatasan kemampuan hidup layak, termasuk akses pendidikan (Sen, 1999).
Angka 10.799 menjadi simbol ketidakadilan struktural. Namun, di balik data ini, tersimpan panggilan moral bagi pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan: menyalakan oase harapan, memastikan setiap anak memiliki akses pendidikan layak.
Kita menghadapi pilihan: membiarkan angka tetap dingin dalam laporan, atau mengubahnya menjadi gerakan nyata untuk pendidikan inklusif. Anak-anak Wajo berhak lebih dari sekadar angka; mereka berhak masa depan nyata, dibangun melalui pendidikan dan kerja keras kolektif.
Regulasi Ada, Tapi Implementasi Masih Tertatih
Wajo telah membuat regulasi melalui Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2022 tentang RAD-PPATS, turunan dari RAN-PPATS 2023--2026 (jdih.wajokab.go.id; bappenas.go.id). Secara konsep, kebijakan ini ideal: menekankan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat.
Namun di lapangan, kenyataan berbeda. Data dari Dapodik, DTKS, dan P3KE Kemensos tidak sinkron, sehingga anak yang kembali sekolah tetap tercatat ATS. Koordinasi antarinstansi belum optimal, dan pelibatan masyarakat banyak berhenti pada formalitas (Baihakqi, 2025).