Patut diingat apa yang disampaikan Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Said Abdullah, agar otoritas fiskal tidak menaikkan tarif pajak demi memenuhi target tersebut.
Langkah meningkatkan tarif pajak hanya akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini masih cukup tertekan.
Ingat yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana Bupatinya menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Akibatnya, aksi massa demikian besarnya menolak kebijakan tersebut, dan bahkan berujung dengan tuntutan masyarakat melengserkan bupati.
Kembali ke APBN, pemerintah berencana melakukan beberapa strategi untuk mengejar target pendapatan negara 2026 sebesar Rp 3.147,7 triliun, tanpa menerapkan jenis pajak baru.
Saran dari Said Abdullah, agar pemerintah memperbesar skala usaha pelaku usaha dan memperbanyak pelaku usaha agar memberikan sumbangsih besar ke penerimaan negara (Kompas, 16/8/2026).
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Riandy Laksono, mengkhawatirkan target pajak yang tinggi tersebut mendorong pemerintah meningkatkan intensifikasi dari basis pajak yang sudah ada.
Jika intensifikasi itu misalnya melalui kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh), akan berisiko memperlambat konsumsi, padahal potensi perlambatan ekonomi masih ada.
Riandy menambahkan, pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia selama ini berada di kisaran 5–6 persen per tahun. Pertumbuhan pajak dua digit biasanya baru terjadi saat terjadi lonjakan harga komoditas.
”Target (kenaikan pajak) 13 persen itu tidak realistis karena hanya mungkin tercapai ketika commodity boom. Kondisinya saat ini berbeda,” ujar Riandy.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangannya belum begitu jelas, apakah akan menaikkan tarif pajak atau tidak. Yang disebut Menkeu pemerintah dengan tegas adalah tidak akan menerapkan jenis pajak baru.