Kota Depok secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Provinsi Jawa Barat, meskipun karena sangat dekat dengan Jakarta, banyak warga Depok yang merasa sebagai orang Jakarta.
Makanya, dalam obrolan ringan sehari-hari, sering terdengar pertanyaan kepada seseorang, "Jakartanya di mana?" Wow, ternyata Jakartanya di Depok.
Ya, gak masalah. Semua orang juga sudah paham bahwa itu suatu kekeliruan yang dapat ditoleransi dan tidak perlu dikoreksi.
Artinya, Depok sah-sah saja mengikuti kebesaran Jakarta, karena atmosfernya sama. Tapi, siapa sangka dulunya Depok punya kebanggaan khusus karena pernah punya presiden sendiri.
Ceritanya begini. Diawali dari seorang tuan tanah Belanda yang bernama Cornelis Chastelein yang menentang segala kebijakan kolonialisme yang menyiksa rakyat Indonesia.
Dikutip dari historia.id, Chastelein merupakan seorang warga Belanda keturunan Prancis yang memiliki peran penting di kongsi dagang Belanda VOC.
Chastelein diketahui berperan sebagai pencatat tata kelola buku perdagangan dan bisnis di tahun 1675, atau semacam Kamar Dagang dalam istilah sekarang.
Semakin berjalannya waktu, Chastelein merasa tak sejalan dengan praktik yang dilakukan VOC yang dinilainya terlalu banyak membebani rakyat.
Kemudian Chastelein memilih keluar dari kongsi dagang yang mengeruk hasil bumi di berbagai pulau Nusantara itu, dan beralih menjadi pengusaha.
Dalam waktu yang relatif cepat, bisnis Chastelein berkembang pesat dan mengantarkannya menjadi saudagar kaya raya yang punya tanah sangat luas.
Kesuksesan Chastelein terbukti dari kepemilikan tanahnya seluas 1.240 hektare di kawasan Depok yang terletak di bagian selatan Batavia (nama Jakarta ketika itu).
Lahan luas tersebut ditanaminya dengan berbagai jenis komoditas pertanian seperti indigo, coklat, sirsak, nangka, belimbing, rempah-rempah, dan kopi.
Selain mengelola bisnisnya, Chastelein juga aktif sebagai penginjil. Untuk bisnisnya, Chastelein dibantu oleh 150 budak yang ia sebut sebagai hamba atau asistennya.
Dalam beberapa referensi, Chastelein memang disebutkan anti perbudakan, meskipun hal itu praktik yang lazim di zaman tersebut.
Para asistennya didatangkan dari sejumlah daerah di Indonesia, antara lain dari Bali, Makassar, Malaka, dan bahkan ada yang dari Sri Lanka.
Dalam kutipan sejarah yang tertulis di buku "Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657—1714)", karya Jan-Karel Kwisthout, budak-budak itu sengaja didatangkan dari daerah yang terkenal ahli dalam teknik pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan.
Chastelein berharap, tanah Depok yang subur bisa terkelola dengan baik dan bermanfaat bagi banyak orang, selain juga memberi keuntungan kepada dirinya.
Dalam buku itu juga, disebutkan cikal bakal dari Negara Depok (disebut "negara" karena mempunyai pemerintah tersendiri), berawal dari organisasi Kristen Protestan pertama di Indonesia yang didirikan Chastelein.
Organisasi itu didirikan sebagai ‘pelanggengan kekuasaan’ dengan nama Depok yakni singkatan dari De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen (organisasi Kristen pertama).
Tujuan utama dibentuknya organisasi tersebut, ialah mengenalkan agama melalui pendekatan yang lebih humanis, yang jauh dari kesan kekerasan dan perbudakan.
Seiring berjalannya waktu, Chastelein sakit keras. Ia berpesan dalam surat wasiat kepada seluruh budaknya, agar mengelola seluruh lahan pertanian yang ditinggalkannya.
Dapat ditafsirkan bahwa melalui surat wasiat tersebut, Chastelein menginginkan atau membuat kebijakan kepemilikan bersama atas lahannya di Depok itu.
Para budak yang telah dimerdekakan tersebut diwariskan 12 nama marga dari ajarannya yakni, Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadok.
Nama-nama itu dikenal sebagai marga asli Belanda Depok, keturunan asli dari Chastelein yang meninggal dunia pada 28 Juni 1714.
Para mantan budak itu kemudian membentuk semacam organisasi yang menjadi sebuah sistem pemerintahan warisan Chastelein.
Organisasi tersebut punya pemimpin tertinggi serta asisten, yang merupakan cikal bakal Presiden dan Wakil Presiden dari Negara Depok.
Dikutip dari laman arsip Lentera Timur, Depok terus berkembang hingga di tahun 1871. Seorang advokat Belanda Mr.M.H. Klein merealisasikan perkembangan Depok menjadi sebuah republik dengan meletakan batu pertama bernama “Desa Republik”.
Sejak itu, Negara Depok berdiri dan ditetapkan hari wafatnya Chastelein pada 28 Juni 1714 sebagai peringatan kemerdekaan Negara Depok yang berbentuk Republik atau Depoksche Dag.
Kemudian disusun pula semacam peraturan perundang-undangan negara di tahun 1871 hingga 1876.
Peraturan perundang-undangan tersebut disempurnakan pada tahun 1913 dan dinamakan dengan reglemen van het land Depok atau Regulasi Negara Depok.
Dalam aturan itu tercantum bahwa masa kepemimpinan presiden dibatasi hanya boleh memimpin selama tiga tahun.
Pemilihan presiden pertama Depok dilaksanakan pada tahun 1913 dengan nama pemerintahan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok.
Pemilihan ini dilakukan secara demokratis dan terpilih menjadi presiden pertama Depok adalah Gerrit Jonathans (sumber referensi dari republika. co. id, 14/8/2023).
Pusat pemerintahannya berada di titik Kilometer 0 yang ditandai oleh Tugu Depok. Bekas gedung pemerintahannya saat ini terbengkalai dan pernah difungsikan sebagai Rumah Sakit Harapan.
Setelah Gerrit Jonathans, paling tidak tercatat ada tiga presiden yang memimpin Negara Depok, yaitu Martinus Laurens (1921), Leonardus Leander (1930), dan Johannes Matjis Jonathans (1952).
Kejayaan Negara Depok atau Desa Republik Depok perlahan mulai berakhir setelah diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia.
Awalnya Depok tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.Walau tidak menyatakan resmi, penolakan Depok terlihat dari gaya hidup warganya yang sangat beraroma Belanda.
Warga Depok ketika itu dikenal dengan sebutan “Kaoem Depok” atau “Depok Dalem”, yang kemudian disebut Belanda Depok. Mereka menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari.
Menurut Wenri Wanhar dalam buku Gedoran Depok, pada tahun 1945 terdapat berbagai gesekan yang mengakibatkan warga Indonesia mendesak Depok, karena masih beraroma Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Terjadilah peristiwa Gedoran Depok yang merupakan sebuah tonggak sejarah perjuangan heroik pejuang Indonesia merebut Depok pada 11 Oktober 1945.
Tentang para pejuang, salah satunya adalah anak muda pemberani bernama Margonda. Banyak warga Depok saat ini yang tidak tahu bahwa nama Jalan Margonda di pusat kota Depok, berasal dari nama pahlawan peristiwa Gedoran Depok.
Pada 16 November 1945, para pejuang melancarkan serangan besar-besaran ke Depok. Dalam serangan ini, para pejuang berhasil menguasai Depok, namun Margonda yang memimpin serangan gugur tertembak pasukan NICA.
NICA adalah organisasi semi-militer yang didirikan oleh pemerintah Belanda yang berada dalam pengasingan setelah Jepang menduduki Indonesia.
Setelah mengalami berbagai peperangan dan teror di masa “Gedoran Depok”, pada 1952 para warga keturunan Belanda-Depok tersebut akhirnya bergabung atau melebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu disampaikan langsung presiden terakhir Depok, Johannes Matjis Jonathans. Para warga Belanda-Depok kemudian mendirikan komunitas bernama Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).
YLCC hingga kini masih aktif merawat bangunan peninggalan Chastelein berupa gereja, sekolah, rumah tinggal dan pemakaman orang-orang Belanda-Depok yang banyak terdapat di kawasan Depok Lama di Kecamatan Pancoran Mas.
Kota Depok yang di era awal kemerdekaan hanyalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, sejak 27 April 1999 resmi menjadi Kota Otonom (dulu disebut Kotamadya).
Sekarang, Kota Depok terbagi atas 11 kecamatan dan 63 kelurahan dan dipimpin oleh seorang Wali Kota yang dipilih secara langsung melalui proses demokrasi Pemilihan Kepala Daerah setiap lima tahun sekali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI