Dalam bahasa Minang, sandal disebut dengan tarompa. Tarompa datuak berarti sandal yang biasa dipakai para datuak. Datuak (datuk) adalah kepala suku atau kepala kaum sesuai adat Minang.
Gelar datuk diberikan berdasarkan kesepakatan suatu kaum kekerabatan berdasarkan garis keturunan dari pihak ibu (matrilineal) dan disetujui dalam rapat pemuka adat setempat.
Setelah seseorang resmi bergelar datuk dengan perayaan adat, maka di belakang namanya diberi tambahan. Misalnya, Anwar Datuk Rajo Alam.
Di suatu nagari (desa) di Sumbar, diperkirakan secara rata-rata terdapat belasan orang (semuanya laki-laki) yang bergelar datuk.
Penampilan seorang datuk dalam acara adat, punya ketentuan tersendiri, mulai dari tutup kepala hingga alas kaki.
Penampilan dimaksud secara lengkap dapat dilihat pada foto di atas. Namun demikian, artikel ini lebih terfokus membahas alas kaki berupa sandal, yakni tarompa datuak.
Meskipun disebut tarompa datuak, sebetulnya orang biasa pun, sejak dari zaman dulu juga sering memakai. Contoh tarompa tersebut dapat dilihat pada foto di bagian bawah artikel ini.
Ada kebanggaan tersendiri bagi pemakai sandal tradisional yang terkesan artistik itu.Â
Modelnya antik, tapi si pemakai tak merasa sebagai orang yang ketinggalan zaman. Justru anak muda pun banyak yang suka.
Dari sisi kenyamanan, mungkin tarompa datuak agak keras atau kaku, dibanding sandal produksi pabrik dengan bahan yang lebih lentur.
Tapi, jika sudah terbiasa memakai, lama-lama sisi kulit yang menjadi bahan sandal tersebut, tak akan terasa keras lagi.
Produksi tarompa datuak dilakukan secara manual oleh beberapa pengrajin sepatu dan sandal yang terdapat di beberapa kota di Sumatera Barat.
Bahkan, ada juga perantau Minang di Medan dan Jakarta yang sengaja membuat dan menjual tarompa datuak. Ternyata yang bukan orang Minang pun banyak yang suka.
Seorang pengrajin menuturkan mampu membuat 20 pasang tarompa datuak dalam 1 hari selama 8 jam kerja.Â
Proses pengerjaannya secara manual dengan berbagai alat seperti pisau khusus untuk memotong kulit yang menjadi tapak sandal.
Demikian juga memotong kulit yang lebih halus untuk bagian atas sandal.
Lalu ada semacam mal atau cetakan (berbentuk bagian bawah dari kaki manusia) untuk berbagai ukuran.Â
Kulit atas dan kulit bawah harus dililit ke cetakan itu tadi secara manual sewaktu pengerjaannya.
Harganya dijual sekitar Rp 180.000 bagi yang tidak sepenuhnya kulit dan Rp 400.000 untuk yang full kulit asli.
Sekarang, tarompa datuak ini laris manis dicari para perantau Minang yang pulang kampung.
Tarompa datuak tersebut, sebagian dibuat oleh pengrajin yang perantau asal Minang. Namun, juga ada dibuat oleh pengrajin sandal dari Garut, Jawa Barat.
Ternyata peminat tarompa datuak tidak hanya orang lokal saja, turis asing pun tak sedikit yang membeli.
Jika saja tarompa datuak dipromosikan secara lebih gencar, termasuk dengan lebih intensif menggunakan media sosial, prospek bisnisnya terbilang cerah.
Permasalahannya adalah regenerasi pengrajin agak tersendat, karena anak muda yang tertarik untuk jadi pengrajin sandal, relatif sedikit.
Tapi, jika terbukti menghasilkan cuan yang lumayan, tentu akan lebih banyak anak muda yang tertarik jadi pengrajin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI