Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ambil Kredit Bank Bisa Jadi Sumber Keretakan Rumah Tangga

7 Oktober 2022   04:31 Diperbarui: 7 Oktober 2022   04:36 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. cekaja.com

Seorang teman saya curhat tentang kelakuan besannya, yang bisa mengakibatkan terganggunya keharmonisan rumah tangga anaknya.  

Ceritanya, anak teman saya tersebut seorang perempuan yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit milik pemerintah. Statusnya adalah aparatur sipil negara (ASN). 

Sedangkan suaminya atau menantu dari teman saya, seorang yang sudah punya posisi level menengah di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang konstruksi.

Sebetulnya, kehidupan si anak sudah bisa dikatakan mapan dilihat dari sisi materi. Pasangan yang masih muda itu (keduanya belum berumur 40 tahun), sudah punya rumah yang layak dan mobil.

Memang, untuk membeli rumah, mereka mengambil kredit dari sebuah bank milik negara, dengan berbekal Surat Keputusan (SK) kepegawaian sang suami serta slip gaji bulanannya.

Meskipun gaji suami dipotong untuk cicilan pengembalian kredit, mereka masih bisa memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan masih sempat pergi rekreasi sekeluarga ke destinasi wisata.

Masalahnya, oleh ibunya (yang menjadi besan teman saya), si suami diminta membantu adik perempuannya yang juga sudah bersuami.

Adik suaminya itu masih tinggal di rumah kontrakan. Karena itu, melalui ibunya, si Adik ingin kakaknya mengambil kredit perumahan lagi, tapi rumahnya untuk si Adik.

Kebetulan si adik dan suaminya dua-duanya berwirausaha, sehingga tak punya SK pegawai dan tentu juga tak punya slip gaji bulanan.

Adiknya berjanji akan mencicil setiap bulan ke kakaknya, istilahnya si adik hanya "meminjam nama" SK kakaknya, agar dapat kredit bank.

Namun, karena SK si suami sudah "disekolahkan" ke sebuah bank, kali ini si suami meminta SK istrinya yang dipakai. 

Istrinya tidak setuju dan melapor pada orang tuanya yang teman saya itu. Tentu teman saya mendukung sikap anaknya untuk tidak meminjamkan SK-nya demi adik ipar.

Tapi, karena pola patriarki yang berlaku di rumah tangganya, akhirnya si istri pasrah, membiarkan SK-nya dipakai untuk mengambil kredit bagi adik iparnya.

Sekarang, si istri hanya bisa berdoa agar adik iparnya betul-betul mencicil secara tertib setiap bulan hingga kredit bank tersebut lunas.

Nah, terlepas dari curhat teman saya itu, bagi siapapun yang bermaksud mengambil kredit di bank, baik kredit pegawai maupun kredit untuk usaha, ketentuan bank memang harus melibatkan suami dan istri.

Hal tersebut berlaku bagi calon peminjam individu yang sudah berumah tangga. Bila kredit diajukan oleh sebuah perusahaan, apalagi yang perseroan terbatas (PT), akan melibatkan pejabat perusahaan yang punya kewenangan.

Jadi, mengacu pada prosedur di bank, dalam perjanjian kredit mewajibkan adanya tanda tangan suami dan istri, meskipun pinjaman tersebut atas nama suami.

Artinya, tak bisa salah satu pihak meminjam ke sebuah bank tanpa sepengatahuan pasangannya. Bank tak ingin nantinya ada risiko jika salah satu pihak tidak ikut menandatangani.

Meskipun demikian, adakalanya si istri tidak setuju suaminya meminjam di bank, namun terpaksa ikut tanda tangan karena "dipaksa" suaminya.

Kalau keduanya berstatus pegawai dari suatu instansi atau perusahaan, sebetulnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Soalnya, yang menjadi jaminan adalah SK kepegawaiannya.

Jadi, sumber cicilan pengembalian kredit sudah jelas, yakni bank akan memotong langsung dari penerimaan gaji si pegawai yang SK-nya "disekolahkan".

Tapi, jika si suami bukan pegawai, dan mengandalkan SK isterinya yang pegawai, ini bisa jadi masalah nantinya jika ada keretakan rumah tangga.

Atau, bila dua-duanya bukan pegawai, calon peminjam harus menyerahkan agunan berupa sertifikat kepemilikan tanah atau harta bersama lainnya.

Sering ada kasus seorang suami bercerai dengan istrinya, padahal harta bersamanya masih diagunkan ke bank. 

Bank akan tetap menagih pada yang namanya tercantum sebagai peminjam, apakah suaminya atau istrinya. Sepanjang kredit masih belum lunas, harta tersebut belum akan dikembalikan bank. 

Kesimpulannya, segala sesuatu yang menyangkut urusan keuangan, apalagi mengambil kredit di bank, pasangan suami istri harus bermusyawarah terlebih dahulu.

Demikian pula pemanfaatan kredit, harus berdasarkan kesepakatan bersama. Jangan sampai kredit habis untuk memuaskan hobi suami, tapi istrinya kelabakan melunasi kredit.

Tak boleh ada unsur paksaan dan segala macam risikonya perlu diantisipasi dan dihadapi bersama. .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun