Ada berita terkait ketenagakerjaan yang bisa disebut sebagai kabar gembira, tapi bisa pula dimaknai sebagai kabar duka, tergantung kaca mata siapa atau dari titik pandang mana kita melihatnya.Â
Berita tersebut memang masih bersifat wacana, yakni tentang penghapusan tenaga alih daya atau outsourcing yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan MayDay 2025 di Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025) lalu.Â
Jelas, pernyataan Presiden tersebut mendapat respon beragam. Kalangan serikat buruh sangat mendukung rencana itu karena sejak lama sudah menuntut untuk menghapus mekanisme outsourcing yang selama ini dianggap sebagai "perbudakan" modern.Â
Sebaliknya, pihak perusahaan atau dunia usaha melihatnya sebagai suatu ancaman. Para pengusaha menginginkan pemerintah untuk mengevaluasi praktik outsourcing sebelum mengambil keputusan strategis.
Jadi, ada dua kubu yang sulit untuk dipersatukan dalam melihat permasalahan di seputar keberadaan tenaga alih daya tersebut.Â
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, berpendapat bahwa praktik alih daya pada prinsipnya melanggar HAM.
Namun, hingga saat ini praktik alih daya tersebut adalah legal karena awalnya diatur dalam Pasal 59, 64, 65 dan 66 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.Â
Outsourcing pada intinya adalah mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. UU 13/2003 membatasi outsourcing hanya untuk 5 jenis pekerjaan yang terdiri dari security, cleaning service, catering, driver, dan tambang.Â
Makanya, untuk menghapus praktik outsourcing tersebut tentu tidak bisa dilakukan begitu saja. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan penghapusan sistem alih daya masih memerlukan kajian dan evaluasi yang mendalam.Â
Menteri Ketenagakerjaan pasti memahami, meskipun sistem alih daya tak menjamin peningkatan karier serta mendorong peningkatan kualitas pekerja, namun outsourcing berkelindan dengan kepentingan dan kebutuhan para pemilik usaha.
Lagi pula, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 168 tahun 2023, sistem alih daya dalam Undang-Undang Cipta Kerja masih diakui sah secara konstitusional.Â
"Jadi tentu kita akan berangkat dari regulasi. Tadi ada harapan Pak Presiden, regulasi. Tentu nanti prosesnya juga harus meaningful participation," ujar Yassierli kepada jurnalis.Â
Nada penolakan terhadap wacana penghapusan tenaga alih daya juga datang dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang.Â
Menurut Sarman, regulasi soal outsourcing tak bisa sembarangan dihapus karena tetap dibutuhkan di bidang atau sektor tertentu.Â
Jangan sampai niat baik untuk memperbaiki kehidupan buruh malah akan mengurangi kesempatan kerja masyarakat Indonesia.Â
Apalagi, sampai saat ini fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih saja terjadi. Tentu hal ini menambah jumlah pengangguran yang sebelumnya juga sudah sangat banyak.Â
Jadi, kalangan pengusaha berharap wacana penghapusan tenaga alih daya belum bersifat final. Masih perlu suatu diskusi yang komprehensif untuk menyimpulkan perlu dihapus atau tidak.Â
Penting kiranya agar diskusi tersebut dilakukan dua arah dengan melibatkan pekerja dan pemberi kerja. Jangan sampai kalangan pekerja tidak diakomodir aspirasinya.Â
Dengan demikian, diharapkan akan ada jalan keluar dan jawaban yang tepat atas masalah-masalah yang berkaitan dengan isu kesejahteraan pekerja selama ini.
Katakanlah para pekerja khawatir bahwa tenaga alih daya ini upahnya murah dan gampang di-PHK.Â
Kekhawatiran ini sebaiknya bisa diadopsi dalam aturan-aturan yang baru nanti, supaya berbagai kekhawatiran itu bisa terjawab dengan tegas dalam UU Ketenagakerjaan yang baru.Â
Jika pemerintah ingin bertindak populis, menghapus tenaga alih daya memang akan menaikkan citra pemerintah dengan signifikan.Â
Tapi, perlu diingat, jika dunia usaha tidak mampu menggaji semua pekerjanya dengan standar pekerja biasa (tanpa outsourcing), diduga akan banyak perusahaan yang bangkrut.Â
Satu hal yang terpenting, manajemen perusahaan harus transparan dalam mengungkapkan laporan keuangannya kepada semua stakeholder, termasuk kepada pekerja.Â
Jangan sampai pihak manajemen bilang tidak mampu, tapi berani memberi fasilitas yang sangat mewah bagi para pejabat perusahaan itu sendiri.Â
Pihak manajemen perusahaan selama ini sudah dimanjakan dengan menggunakan perekrutan pola outsourcing. Bayangkan betapa besarnya beban perusahaan bila merekrut pekerja tetap dan bukan tenaga alih daya.
Tidak saja standar penggajian pekerja tetap yang lebih tinggi dari pekerja alih daya, tapi ada juga manfaat jangka panjang yang harus telah dicadangkan sejak seorang karyawan tetap diterima di suatu perusahaan.Â
Seperti diketahui, dalam menyusun laporan keuangan, perusahaan harus mengikuti standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.Â
Nah, standar akuntansi keuangan di Indonesia antara lain mengatur tentang imbalan kerja karyawan atas jasa mereka selama masa kerja.Â
Hal tersebut mencakup imbalan seperti gaji, tunjangan, cuti, imbalan pasca-kerja, serta manfaat kesejahteraan lainnya. Namun, hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi tenaga alih daya.
Jadi, meskipun seorang pekerja tetap masih lama akan pensiun, perusahaan sudah harus mencicil pencadangannya, agar saat pensiun tiba, dana imbalan bagi pensiunan telah tersedia untuk dibayarkan.
Pencadangan tersebut bisa dikelola perusahaan itu sendiri, atau diserahkan untuk dikelola oleh pihak lain, seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), dan juga BPJS Ketenagakerjaan.
Jelaslah, kenapa perusahaan selama ini telah dimanjakan oleh adanya tenaga alih daya, karena tak perlu mencadangkan imbalan pasca kerja.
Dalam ketentuan hukum, memang ada kompensasi ketika kontrak seorang tenaga alih daya diputus. Namun, jumlahnya jauh lebih rendah ketimbang yang diterima pekerja tetap yang pensiun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI