Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Merasa Nyaman di Perjalanan, Sebaiknya Diamkan Saja

29 Mei 2022   07:03 Diperbarui: 29 Mei 2022   07:04 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemacetan|dok. timesindonesia.co.id, dimuat gaikindo.or.id

Jadi MC alias momong cucu jadi pengalaman pertama saya dan istri, setelah menantu kami melahirkan seorang bayi perempuan pada awal Januari lalu. 

Setelah sang menantu selesai menjalani cuti melahirkan selama 3 bulan, bersamaan pula di kantornya kebetulan mulai sering work from office (WFO).

Karena tidak punya babysitter, akhirnya sang bayi dititipkan kepada kami (saya dan istri), setiap si menantu mau berangkat ke kantor sekitar jam 10 pagi dan baru diambil lagi sekitar waktu magrib.

Kebetulan, rumah yang dihuni putra kami hanya beberapa ratus meter dari rumah saya, sehingga sewaktu ke kantor dengan mobil bututnya, ia singgah menitipkan bayinya.

Kami pun senang-senang saja dititipi bayi. Benar kata banyak orang, ternyata sayang kepada cucu memang lain sensasinya, bahkan terkadang lebih sayang dibanding anak sendiri.

Tentu, sewaktu sang cucu menangis berkepanjangan bisa membuat kami kewalahan. Namanya juga bayi, satu-satunya cara untuk menunjukkan ketidaknyamanannya adalah dengan menangis.

Tinggal kami menebak-nebak saja, apakah si bayi sudah saatnya diberi susu (yang berasal dari ASI yang ditampung pada wadah khusus, disimpan di freezer dan dipanaskan sewaktu akan diminum).

Nah, suatu kali, kami kehilangan akal karena sang cucu menangis terlalu lama. Padahal, saya waktu itu ada keperluan harus membeli sesuatu ke suatu tempat sekitar 7 kilometer dari rumah.

Istri saya punya ide agar ia ikut di mobil saya sambil menggendong cucu. Siapa tahu, cucu akan berhenti menangis kalau dibawa jalan-jalan.

Usul istri saya iyakan, walaupun dalam hati saya sedikit kurang setuju. Bagaimana bila nanti si cucu tetap menangis? Perjalanan jadi tidak nyaman. 

Tapi, ya sudahlah, saya berdoa saja semoga si cucu jadi tenang. Dan pada awalnya, doa saya dikabulkan Allah, ketika tiba-tiba cucu saya terlihat tenang.

Nah, salahnya saya, secara spontan saya berkomentar kepada istri saya, yang pada intinya menyatakan kegembiraan saya melihat si cucu tidak rewel lagi.

Eh, ternyata tak lama setelah saya berkomentar, si cucu kembali menangis. Saya teringat cerita seorang teman tenang mitos bahwa bila kita menemui situasi yang menyenangkan di perjalanan, sebaiknya jangan diomongkan kepada teman seperjalanan.

Contohnya, bila misalkan saat melewati jalanan yang biasa macet, tahu-tahu suatu saat tidak macet, lalu kita berkomentar: "enak ya, ternyata lancar."

Kalau sempat keluar kata-kata seperti itu dari mulut, tunggu saja, biasanya akan kena macet lagi. Tapi, bila kita diam-diam saja, cukup bersyukur dalam hati, maka akan lancar sampai di tempat tujuan.

Demikian juga soal hujan. Saat kita memperkirakan akan turun hujan karena memang lagi musimnya atau karena langit terlihat mendung, tahu-tahu malah terang, sebaiknya kita gak usah ngomong ke teman seperjalanan.

Jika diomongkan, misalnya: "enak ya, ternyata gak hujan", bisa-bisa malah tak lama setelah itu turun hujan. Kalau mau komentar, dalam hati saja.

Saya sadar hal itu hanya mitos, dan bahkan di luar nalar. Tapi, entah kenapa saya sering mendiamkan bila menemui situasi yang menyenangkan dalam perjalanan. Kecuali, saya lupa teori tersebut saat bawa cucu jalan-jalan. Anda percaya atau tidak? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun