Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penerapan Kurikulum Merdeka, Anak Kutu Buku Tak Lagi Jadi Kebanggaan?

18 Februari 2022   10:44 Diperbarui: 18 Februari 2022   10:46 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasu siswa SMA sedang belajar|dok. Shutterstock/Tiwuk Suwantini, dimuat Kompas.com

Selama ini, di kebanyakan sekolah di negara kita, sangat gampang mengidentifikasi anak yang pintar dan anak yang tidak pintar. Tentu juga ada yang biasa-biasa saja, maksudnya tidak begitu pintar tapi juga tidak bodoh.

Citra anak pintar adalah mereka yang rajin belajar, kutu buku, penghafal yang baik, dan langganan mendapat peringkat 5 besar di kelas. 

Sebaliknya citra anak yang kurang pintar adalah mereka yang bandel, malas belajar, kalau ujian sering mencontek, sering kelayapan, dan tingkah laku lainnya yang kurang disukai guru. 

Padahal, nantinya setelah mereka dewasa dan terjun di dunia kerja, ceritanya sebagian besar akan berbeda. Maksudnya, si anak pintar bisa saja tidak menonjol dalam karirnya, tapi si anak bandel ini bisa sukses.

Di mana letak kesalahannya? Itu karena yang diasah di sekolah lebih banyak  berupa ilmu pengetahuan (knowledge). Dengan nilai rapor yang bagus atau indeks prestasi akademik yang tinggi, memang anak pintar berpeluang dapat pekerjaan yang baik.

Namun, begitu sudah bekerja, faktor knowledge itu bukan lagi menjadi penentu keberhasilan untuk mencapai posisi yang lebih tinggi.

Mereka yang bisa masuk jalur cepat untuk promosi di sebuah instansi atau di perusahaan yang besar, adalah mereka yang punya skill (keahlian) yang mumpuni dan attitude (sikap dan tingkah laku) yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan.

Yang dituntut itu bukan karyawan yang bisa menghafalkan visi dan misi perusahaan, tapi yang mampu mengaplikasikan visi dan misi itu dalam memenuhi target yang dibebankan atasannya.

Target itu bisa berupa penambahan jumlah pelanggan, omzet penjualan yang meningkat, peluncuran produk baru, melebarkan sayap ke daerah baru, dan sebagainya.

Makanya, karyawan yang punya networking yang luas, luwes dalam bergaul, cermat dalam mengambil keputusan, jago dalam bernegosiasi, menjadi modal untuk mencapai target, bahkan bisa melampauinya.

Ternyata, sebagian anak yang dulu dikenal "bandel" dan menemukan jalan yang benar, dari pengalamannya telah memberinya bekal yang nantinya bermanfaat di dunia kerja.

Sedangkan anak kutu buku yang terkesan kuper (kurang pergaulan) akan kewalahan dalam memenuhi target, kecuali kalau mereka bekerja di bidang penelitian.

Jelaslah, citra anak pintar dan anak bandel bisa menyesatkan. Hal ini diharapkan tidak akan berlanjut bila sekolah-sekolah mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. 

Kita berharap banyak bahwa kurikulum ini menjadi jawaban dalam membentuk para remaja dan generasi muda yang lebih kompatibel dengan dunia kerja yang akan digelutinya di kemudian hari.

Harapan itu tidak berlebihan, mengingat seperti yang diberitakan Kompas.id (17/2/2022), kurikulum merdeka tersebut punya tiga keunggulan, yakni:

Pertama, lebih sederhana dan mendalam. Maksudnya fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi. Belajar lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru dan menyenangkan.

Kedua, lebih merdeka karena tidak ada program peminatan (siswa memilih pelajaran sesuai minat, bakat dan aspirasinya). Guru mengajar sesuai tahapan pencapaian dan perkembangan peserta didik.

Sedangkan sekolah memiliki wewenang mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.

Ketiga, lebih relevan dan interaktif. Pembelajaran melalui kegiatan proyek memberi kesempatan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan dan kesehatan.

Hal tersebut dimaksudkan untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.

Bisa ditafsirkan bahwa sistem peringkat siswa dalam satu kelas tidak lagi relevan, karena masing-masing punya minat dan kelebihan yang berbeda.

Dengan demikian, apakah pelajar yang kutu buku dan kuper bukan lagi hal yang membanggakan? Toh, semuanya akan jadi anak pintar sesuai pilihannya masing-masing.

Ya, seperti apa penerapan kurikulum merdeka, kita perlu mengikuti perkembangannya. Soalnya, kendala yang harus dihadapi oleh para guru, diperkirakan tidak sedikit.

Kemampuan guru untuk beradapatasi dengan kurikulum merdeka menjadi hal penting, karena metode pengajarannya sudah berbeda sekali.

Nantinya, fungsi guru tidak lagi sekadar mengajar, tapi juga seperti seorang motivator atau seorang yang mampu mengembangkan kepribadian siswanya.

Karena demikian banyak jumlah guru, metode pelatihan untuk menerapkan kurikulum merdeka lebih baik dilakukan secara mandiri melalui platform digital yang disiapkan Kemendikbudristek.

Tinggal lagi masalahnya bagaimana memastikan bahwa guru-guru yang belajar secara mandiri sudah benar pemahamannya dan mampu mengaplikasikannya dengan baik.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun