Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepinya Museum di Berbagai Daerah, "Hidup Segan Mati Tak Mau"?

12 Oktober 2021   11:19 Diperbarui: 12 Oktober 2021   13:51 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Adityawarman Padang yang dikelola Pemda|dok. ist/mjnews.id

Mungkin banyak yang tidak tahu atau tidak memperhatikan bahwa bagi bangsa Indonesia tanggal 12 Oktober punya keistimewaan.

Pada tanggal tersebutlah dilakukan peringatan Hari Museum Nasional yang sejarahnya mengacu pada Musyawarah Muesum se-Indonesia yang pertama kali diadakan di Yogyakarta, 12-14 Oktober 1962.

Tapi, ketidaktahuan itu dapat dimaklumi, karena secara umum masyarakat kita memang kurang punya perhatian pada museum.

Bahwa museum itu penting, pasti kita semua tahu. Museum adalah salah satu sumber pengetahuan tentang berbagai hal yang terjadi di masa lalu.

Perkembangan peradaban manusia dari masa ke masa tergambar jelas dari berbagai benda, foto, tulisan, film, dan sebagainya, yang dipamerkan di museum.

Masalahnya, museum di negara kita kebanyakan hanya ramai dikunjungi oleh anak sekolah bila ada tugas dari gurunya.

Kalau tidak ada tugas sekolah, museum boleh dikatakan sepi, meskipun masuk museum tidak dipungut biaya.

Kalau mengacu pada museum di negara maju, pengunjungnya ramai karena museum juga sekaligus dikembangkan sebagai objek wisata.

Makanya, berkunjung ke museum menjadi agenda yang masuk dalam itinerary grup wisata kalau kita misalnya ke Eropa atau Amerika.

Penataan museum di negara maju memang sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga meskipun harus membeli tiket masuk, pengunjung tetap ramai.

Sedangkan di negara kita, museum terkesan kering, sehingga pengunjung pun hanya sebentar melihat, kemudian berlalu begitu saja.

Bukan hanya masyarakat yang kurang peduli, kalau mau jujur, pemerintah daerah banyak yang juga kurang memperhatikan museum di daerahnya. 

Padahal, museum di Indonesia sesungguhnya amat banyak, karena paling tidak setiap pemerintah kabupaten atau kota punya satu museum.

Lalu, di kota-kota besar, apalagi seperti di Jakarta, Bogor, dan Bandung, punya museum yang banyak, baik yang bertema umum atau bertema khusus seperti museum wayang, museum geologi, museum zoologi, dan sebagainya.

Beberapa museum sebetulnya sudah dibenahi dan karenanya nyaman dikunjungi, seperti Museum Nasional di Jakarta.

Hanya saja, mungkin karena promosinya belum gencar, dan juga selama hampir dua tahun terakhir ini terjadi musibah pandemi, museum ini relatif sepi.

Contoh lain, sebelum pandemi, kawasan kota tua Jakarta termasuk objek wisata yang ramai terutama di hari libur.

Ironisnya, mereka yang masuk ke Museum Fatahillah yang jadi ikon kota tua itu, relatif sedikit.

Pengunjung hanya ramai berfoto dengan mengambil museum sebagai latar belakang atau sekadar menyewa sepeda berkeliling taman di depan museum.

Museum di daerah yang dikelola pemda setempat nasibnya lebih parah. Ambil contoh Museum Adityawarman di Padang. 

Banyak wisatawan dari luar daerah yang berkunjung ke Padang lebih tertarik jalan-jalan ke Pantai Padang dan tidak melirik museum yang gedungnya berupa rumah adat Minang itu.

Ada perkembangan menarik sejak beberapa tahun terkahir ini, berbagai perusahaan besar tertarik membangun museum yang berkaitan dengan sejarah perusahaannya.

Berbeda dengan museum yang dikelola pemerintah daerah, museum perusahaan yang punya anggaran khusus dari kas perusahaan tersebut, pengelolaannya jauh lebih baik.

Bahkan, ada museum yang memakai teknologi tiga dimensi seperti Museum Migas yang dibangun Pertamina di Prabumulih, Sumatera Selatan, yang dibuka untuk umum.

Lalu, kembali ke kawasan kota tua Jakarta, di sana ada Museum Bank Indonesia dan Museum Bank Mandiri.

Museum Angkut, Batu-Jatim|dok. paycheckloantips.com dimuat idntimes.com
Museum Angkut, Batu-Jatim|dok. paycheckloantips.com dimuat idntimes.com

Ada juga perusahaan swasta yang membuat museum seperti Museum House of Sampoerna, yang dibangun produsen rokok Sampoerna di Surabaya.

Tapi, kembali, masalahnya tetap tidak gampang mengajak masyarakat untuk gemar berkunjung ke museum. 

Bisa jadi karena memakai nama perusahaan, tidak menjadi daya tarik bagi masyarakat umum, karena dikira museum untuk internal perusahaan tersebut.

Nah, cerita museum di Indonesia tidak semuanya seperti di atas dengan munculnya museum yang dikelola secara profesional.

Kesuksesan telah diraih oleh Museum Angkut di Kota Batu, Jawa Timur, yang penampilannya megah dan spektakuler.

Ratusan koleksi kendaraan dari zaman kuno yang terdapat di berbagai belahan dunia, hingga kendaraan modern, yakni dari pedati hingga pesawat terbang, ada di Museum Angkut, seperti pernah saya tulis di sini.

Meskipun Museum Angkut memungut biaya masuk Rp 100.000 per orang di hari libur, ketika sebelum pandemi, museum yang berdiri pada tahun 2014 itu, disesaki oleh pengunjung.

Begitulah kondisi permuseuman di negara kita, yang gratis malah sepi, yang berbayar justru laris manis.

Bagi pengelola museum sudah saatnya mengubah penampilan dengan lebih kreatif agar bernuansa kekinian. 

Kuncinya tidak semata-mata perlu anggaran khusus yang memadai, tapi juga lebih aktif berpromosi di media sosial untuk memancing minat para remaja dan anak muda agar berkunjung ke museum.

Betapa sia-sianya sebagian museum di berbagai daerah yang ibarat kata pepatah "hidup segan mati tak mau". 

Ayo kita ke museum!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun