Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penjualan Data SLIK OJK dan Pembobolan Rekening Bank

12 Februari 2020   08:09 Diperbarui: 12 Februari 2020   08:11 1337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus pembobolan rekening nasabah bank relatif semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terutama didukung oleh sistem transaksi perbankan yang semakin mudah karena dilakukan secara online real time.

Terakhir kasus yang mencuat di media massa adalah yang menimpa wartawan senior Ilham Bintang, di mana data pribadinya yang tersimpan dalam sistem perbankan yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah disalahgunakan pihak lain.

Akibatnya Ilham Bintang menderita kerugian yang relatif besar. Rekeningnya kebobolan, masing-masingnya Rp 200 juta di Bank Commonwealth dan Rp 83 juta di Bank BNI (cnbcindonesia.com, 6/2/2020). 

Untuk pembobolan di BNI, uangnya sudah dikembalikan oleh manajemen BNI, sehingga kerugiannya berpindah jadi kerugian bank plat merah itu.

Awalnya pemberitaan kasus tersebut banyak mengupas tentang penggandaan nomor telepon genggam yang digunakan Ilham. Modusnya dengan permintaan penggantian kartu oleh orang lain yang mengaku sebagai Ilham Bintang dengan bukti identitas yang palsu. Hal ini yang diduga menjadi penyebab utama kasus dimaksud. 

Tapi akhirnya pihak kepolisian berhasil mengungkapkan bahwa penggandaan kartu itu dilakukan setelah kebocoran data Ilham yang ada  di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Sistem ini mewajibkan semua bank melaporkan data nasabahnya ke OJK.


SLIK tersebut adalah pengembangan dari sistem yang dulu disebut dengan Sistem Informasi Debitur (SID). Setiap bank, melalui petugas yang diberi kewenangan, berhak masuk ke sistem itu dalam rangka meneliti apakah seorang calon peminjam (debitur) sudah punya pinjaman di bank lain atau tidak.

Jika seorang calon debitur sudah tercatat menunggak pengembalian pinjaman di bank lain, maka permohonan kreditnya tidak akan disetujui. Jadi memang petugas tertentu di setiap bank punya akses untuk mendapatkan data pribadi nasabah.

Namun ternyata seperti pada kasus yang menimpa Ilham Bintang, ada oknum sebuah bank kecil yang menjual data pribadi nasabah. Menurut cnbcindonesia.com di atas, data yang antara lain terdiri dari nama nasabah, nomor telepon dan alamat lengkap sesuai KTP, dijual Rp 100.000 per nasabah.

Pembeli data nasabah bisa memanfaatkannya untuk tujuan kejahatan. Itulah yang berujung dengan penggandaan nomor telepon nasabah. Saat ini telepon pintar telah menjadi "nyawa" seseorang, terutama yang menggunakan aplikasi internet banking atau mobile banking.

Memang sangat disesalkan kenapa pihak penyedia jasa pelayanan telepon begitu mudah menerima permintaan penggantian kartu, tanpa menguji keaslian identitas pelanggan.

Tapi yang tidak kalah fatalnya adalah bagaimana OJK bisa menjamin puluhan juta nasabah bank, data pribadinya bisa aman. Berbicara tentang nasabah bank, jumlah nasabah penyimpan lebih banyak ketimbang nasabah peminjam.

Nasabah penyimpan belum tentu punya simpanan dalam jumlah yang memadai. Ini karena hampir semua perusahaan yang punya karyawan, termasuk pula pegawai negeri, sistem penggajiannya masuk ke rekening simpanan si pegawai, yang wajib dibuka di bank yang bekerja sama dengan suatu perusahaan atau instansi.

Padahal bisa saja, begitu menerima gaji yang masuk rekening itu tadi, si pegawai langsung mengambil secara tunai melalui ATM atau ditransfer ke rekening lain melalui aplikasi di telepon pintarnya.

Namun bagi penyimpan dana dalam jumlah besar, tentu sangat khawatir bila data transaksi keuangannya diketahui orang lain. Kenapa bank-bank di negara tertentu seperti di Singapura atau Swiss menjadi favorit para konglomerat atau pejabat untuk menaruh uangnya? Ya, apalagi kalau bukan karena terjaminnya rahasia keuangan mereka.

Apakah dengan dikembangkannya SID menjadi SLIK, data nasabah yang dilaporkan juga diperluas, tidak hanya data debitur, tapi juga data nasabah yang menyimpan dana dengan membuka tabungan, giro, atau deposito?

Pihak OJK sendiri melalui juru bicaranya, Sekar Putih Jarot, memberikan klarifikasi bahwa SLIK merupakan sistem pelaporan dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK) kepada OJK yang berisi data fasilitas pinjaman debitur dan bukan data simpanan nasabah. 

Lagipula secara ketentuan hukum, untuk data pinjaman tidak tergolong rahasia bank, namun data simpanan nasabah adalah rahasia. Jadi, kalau ada peminjam yang mengemplang utang, bank boleh mengumumkannya, tapi bukan untuk data saldo simpanan seseorang.

Hanya saja untuk kepentingan perpajakan, data simpanan individu di atas jumlah tertentu, bisa diakses Direktorat Jenderal Pajak ke masing-masing bank.

Nah, kembali ke data SLIK, bisa saja dari data limit kartu kredit seorang nasabah, petugas bank bisa mendeteksi "kurus gemuknya" seseorang . Kemudian dengan bekal nomor telepon setelah bisa diretas, baru ketahuan rekening lainnya seperti jumlah simpanannya.

Terbayang betapa sulitnya OJK mendeteksi terjadinya penjualan data SLIK. Soalnya belum ada alat atau cara yang ampuh dalam mendeteksi tingkat integritas mereka yang punya kewenangan masuk ke SLIK.

Integritas adalah hal paling penting untuk bekerja di mana saja, terlebih lagi di bank. Hukuman yang berat layak dijatuhkan kepada para oknum yang menyalahgunakan data nasabah, agar memberi efek jera bagi yang lain.

Ada juga oknum bank yang tidak menjual data nasabah, tapi hanya sekadar mendapatkan nomor teleponnya untuk dirayu agar mau juga menjadi nasabah di bank tempat si okmun bekerja. Tentu yang diincar adalah nasabah "gemuk" di bank pesaing.

Makanya jangan heran kalau sering nomor yang tidak dikenal tiba-tiba menelpon kita dan setelah diangkat ternyata petugas pemasaran dari suatu bank atau asuransi.

Memang tidak begitu jelas kecanggihan sistem keamanan data SLIK. Kalaupun tak bisa di-download atau dibagikan, toh bisa difoto. Artinya, secanggih apapun sistemnya, lagi-lagi bagi orang yang tidak punya integritas, tidak kehilangan akal untuk menyalahgunakannya.

Longgarnya pengawasan OJK dan masing-masing bank terhadap penyalahgunaan data pribadi nasabah, menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Memang sudah nasib OJK seperti jadi bulan-bulanan dalam beberapa bulan terakhir ini.

Sebelumnya OJK telah puyeng dengan kasus yang menimpa Jiwasraya, perusahaan asuransi milik negara yang belum mampu mengembalikan kewajibannya kepada para nasabahnya. 

Dalam hal ini OJK dinilai lalai tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagai institusi yang seharusnya mengawasi semua perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk asuransi.

Artinya, masalah perlindungan konsumen, baik karena ancaman kebangkrutan perusahaan tempat mereka menaruh uang, maupun karena kebocoran data sehingga rekeningnya dibobol, harus menjadi fokus pembenahan OJK ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun