Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mana yang Harus Lebih Dulu, Menaikkan Gaji atau Produktivitas?

1 Mei 2019   00:17 Diperbarui: 1 Mei 2019   13:43 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. oranyenews.com

Kenapa bos-bos pengambil keputusan di perusahaan yang punya banyak karyawan begitu sulit untuk menaikkan gaji karyawannya barang sepuluh persen saja? Lho itu bukan angka yang kecil, kata seorang bos. Jika sepuluh persen berarti Rp 300.000, dan karyawannya seribu orang, habis berapa per bulan, ayo! 

Itu baru sebulan. Kalau setahun bukan dikalikan 12, tapi kali 13, 14, atau bahkan lebih karena ada tunjangan  hari raya, bonus, dan sebagainya. Apa para karyawan mau perusahaan tempat mereka menggantungkan hidup, menjadi bangkrut.

Bagaimana kalau ada karyawan yang memprovokasi teman-temannya untuk mogok? Bukannya lebih baik naikkan sedikit gaji mereka agar semangat kerjanya bertambah. Itu mah soal gampang, kata si bos yang lain. Kalau ada yang macam-macam, dikasih hukuman skorsing. Bila masih nakal lagi, pecat saja. Masih banyak di luar sana yang antre mau bekerja dan bersedia digaji kecil.

Masalahnya, ada ketentuan pemerintah tentang upah minimal yang harus dipatuhi semua perusahaan. Tapi bos-bos selalu punya cara menghindar. Tak sedikit perusahaan yang mengambil tindakan drastis merelokasi pabriknya ke provinsi yang tingkat upahnya lebih rendah. Artinya, dari pada jebol di biaya gaji yang akan berlaku secara permanen, mending jebol biaya relokasi yang hanya untuk kali itu saja.

Padahal yang namanya upah minimal di suatu daerah disebut lebih murah dibanding daerah lain, menurut kacamata publik hanya berbeda tipis. Mungkin lebih murah sekitar Rp 200.000 sampai Rp 300.000 saja. Tapi ya itu tadi, dikalikan seribu orang dan dikali lagi 14 kali setahun, jelas beban berat.

Namun kalau bos-bos mengajak relasinya main golf, menjamu pejabat makan-makan di restoran mewah, anggarannya masih tersedia. Dan ini hal penting agar proyek konsisten didapatkan, kilah si bos.

Sebagai basa basi bila ditanya wartawan, para bos kompak menjawab bahwa mereka tidak keberatan menaikkan gaji karyawannya asal diimbangi oleh kenaikan produktivitas.

Produktivitas? Ya, inilah kata kuncinya. Bos akan senang sekali bila produktivitas naik, dan tak segan memberi kenaikan gaji setelah ada bukti kenaikan produktivitas tersebut betul-betul naik.

Bos tidak mau kecolongan, meskipun tuntutan karyawan adalah minta kenaikan gaji duluan, baru akan semakin produktif. Ketakutan si bos berdasarkan banyak cerita teman-temannya sesama bos,  kenyataannya sering tidak terjadi kenaikan produktivitas meski gaji telah dinaikkan.

Jadi gimana dong? Kok mirip kisah ayam dan telor? Harus ada yang mengalah. Namun bila semua pihak bersikap transparan, buka-bukaan tentang kemampuan keuangan perusahaan, pasti ada jalan keluar yang memuaskan kedua pihak, para bos dan para karyawan.

Jika karyawan dapat memahami kas perusahaan lagi kempes, bos-bos juga harus tampil sederhana, kurangi berbagai selebrasi dan hura-hura. Begitu karyawan sudah percaya dengan bos mereka, karyawan akan bersemangat menggenjot produktivitas, karena yakin nanti hasilnya akan dinikmati bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun