Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ribut-ribut, Memang Ada Gunanya?

31 Agustus 2015   09:16 Diperbarui: 31 Agustus 2015   09:16 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rendi, seorang eksekutif, lagi dalam antrian untuk mendapat pelayanan dari sebuah instansi. Eh, tiba-tiba ada seseorang yang datang tergopoh-gopoh langsung menyalib antrian dan anehnya dilayani juga oleh petugas. Rendi meluap emosinya. Tapi untung ia masih bisa menguasai diri. Ia sama sekali tidak ngajak ribut si penyelonong. Rendi lebih memilih ngomong tegas dan berwibawa kepada petugas: "Seperti itu ya sistem pelayanan di kantor ini. Buat apa ada antrian sepanjang ini kalau anda melayani orang yang gak tertib antri". Rendi mencatat nama si petugas, gak tau apakah mau diadukan ke atasan petugas tersebut atau ditulis dalam surat pembaca di media cetak. Saat si penyelonong mencoba meminta maaf pada Rendi, Rendi bilang yang ia tembak adalah sistem, jadi ia gak ingin ribut sesama pihak yang dilayani.

Andi, seorang kepala bagian yang baru di sebuah perusahaan. Ia baru saja dipromosikan di tempat sebelumnya ia menjadi staf. Praktis anak buahnya yang berjumlah sekitar 12 orang adalah teman-temannya sebelumnya. Baru sekitar 10 hari menjabat, kewibawaannya betul-betul diuji. 3 orang anak buahnya yang terkenal sebagai geng trio macan karena sering bikin heboh dan semuanya cewek yang tergolong bawel, tiba-tiba menuding kepala Andi di depan anak buahnya yang lain. "Bos tidak adil, kenapa si Nuri bos ijinin bisa pulang cepat udah 2 hari berturut-turut",  protes anggota geng macan. Andi merasa dipermalukan, tapi menyilakan Indri, salah satu anggota geng, masuk ke ruangannya untuk berbicara baik-baik.

Memang, di bagian tersebut semua sudah pada tahu, geng trio macan benci sama Nuri yang dianggap suka cari muka di hadapan Andi. Andi lalu menjelaskan bahwa Nuri minta izin baik-baik karena lagi ikut seleksi di sebuah perusahaan minyak asing. Nuri lagi dalam proses untuk menikah dengan Joni, staf bagian lain di perusahaan yang sama. Makanya Nuri lagi hunting pekerjaan baru, karena aturan di kantor Andi tidak membolehkan suami istri berkarir bersama-sama. Andi menjamin siapapun anak buahnya yang punya kasus serupa, akan diizinkan meninggalkan kantor di jam kerja. Sejak itu geng macan terlihat lebih respek ke Andi. Tanpa membalas marah, Andi merasa bisa menguasai situasi.

Tapi Andi sendiri waktu jadi staf pernah juga pernah tersulut emosi ketika merasa dicurangi oleh senior-seniornya dalam pengaturan jadwal mengajar di pusat pendidikan. Mengajari petugas yang baru masuk, termasuk tugas enak karena dapat honor yang besarnya tergantung jumlah jam mengajar. Robin yang mengatur jadwal mengajar memberi Andi jatah yang amat kecil, namun staf lainnya dapat jatah yang jauh lebih banyak. Di luar ruangan setelah rapat pembagian jadwal, Andi berbicara ketus bilang Robin tidak adil. Tapi sorenya, setelah emosinya reda, Andi minta maaf pada Robin dan merasa itu haknya Robin yang memang diberi hak mengatur oleh bosnya. Sejak itulah Andi cenderung hati-hati saat emosi mulai meluap.

Begitulah, dalam keseharian kita sering melihat, atau bahkan mengalami sendiri peristiwa yang menyulut emosi. Mendidih sampai ke ubun-ubun. Pengendara mobil yang kesenggol saling adu urat leher. Bos yang suka marah-marah ke anak buah. Ada juga anak buah yang suka protes ke bos. Orang tua yang memarahi anak. Ada juga anak yang ngajak ribut orang tuanya karena gak dikasih uang beli hape, misalnya. Suami yang ribut sama istrinya. Ada yang ribut dengan tetangga sendiri, gara-gara hal sepele.

Ribut-ribut, kalau pun menang, dalam arti  lawan sudah gak mampu menjawab lagi dalam adu argumentasi,  manfaatnya juga amat minim dan lebih kecil dari mudaratnya. Ribut dengan teman kantor, pasti akhirnya merusak kerja sama tim. Ribut sama bos, tahu sendiri, si tukang ribut bisa mendapat stempel "pengacau". Ribut sama anak buah, besar kemungkinan si bos akan menang karena menang posisi. Tapi di belakang, anak buah pada ngedumel, malah ada yang nyumpahin, atau bernazar potong kambing kalau bosnya dimutasikan ke posisi lain. Ribut dengan anak dan istri, andaipun "menang" juga mendegradasi rasa nyaman saat di rumah. Padahal "rumahku, istanaku". Kalau gak nyaman, "istana"-pun tidak memberi manfaat. Menang saat ribut dengan tetangga, percuma juga. Suatu saat si tetangga akan mencari momen untuk balas dendam. Akhirnya menjadi perang sepanjang masa, kecuali salah satu pihak pindah rumah.

Saat ribut, memang emosi tersalurkan. Kelihatannya ada kepuasan tersendiri bila "menang". Tapi beberapa saat setelah itu, perasaan menyesal akan datang menghinggapi hati. Hubungan dengan pihak yang diajak ribut terlanjur tidak enak. Padahal kalau berpikir panjang, pasti ada cara lain untuk "menang" tanpa menyakiti atau mempermalukan pihak lain. Atau kalau pihak lain yang mulai mengajak ribut, bagusnya jadi pendengar yang baik saja dulu, dengan tetap menjaga kesabaran agar tidak terpancing emosi untuk membalas. Setelah itu pertimbangkan posisi kita baik-baik. Bila kita dalam posisi yang salah, segera minta maaf, dan kalau harus mengganti kerugian, lakukan dengan penuh tanggung jawab. Kalau kita merasa tidak bersalah, jelaskan secara baik-baik setelah pihak lawan mengakhiri ribut-ributnya. Lazimnya kalau seseorang mengaajak ribut, tapi tidak kita tanggapi, ia akan segera turun emosinya.

Untuk meredam kemarahan, ajaran yang sering disampaikan para guru agama, bagus untuk dipraktekkan. Kalau kita marah  saat posisi tubuh lagi berdiri, duduklah. Kalau lagi duduk, rebahlah. Kalau kepala panas, berwudhuklah.  Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun