Fakta lain yang saya temukan, keluarga itu sudah kehilangan lahan garapan. Ayahnya menjual sebidang tanah tersisa tanpa sepengatahuan istri dan anak-anaknya. Bahkan beberapa bulan lalu, menurut cerita tetangga, pernah terjadi perkelahian antara sang suami dan keluarganya karena menjual tanah tersebut.
Cerita lain, pernah ada bantuan membangun rumah sebesar Rp. 20 juta dari pemerintah, namun uang itu tidak digunakan sebagaimana mestinya. Mereka malah pakai uang itu untuk bayar utang dan belanja kebutuhan sehari-hari.
"Tidak bisa disalahkan juga pak. Bagaimana mereka bertahan hidup kalau tidak punya tanah lagi?" ungkap tetangga saya itu.
Kini, ayah dari anak-anak itu hanya mampu menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang ojek.
Di Manggarai Timur, NTT
Cerita ini terjadi Kota Kupang. Jauh di Manggarai Timur, Flores, NTT, khususnya di Desa Satar Punda, polemik pertambangan masih hangat diperbincangkan.
Sebagian besar warga Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda sepakat meyerahkan lahan mereka untuk perusahan tambang. Pertambangan batu gamping di sana bakan dijadikan bahan untuk pembangunan pabrik semen. Tak hanya tanah, kampung mereka juga akan direlokasi demi pembangunan pabrik semen. Saya sendiri, pada tahun 2014 silam, pernah mengadakan live in di desa itu. Â
Lahan pertanian di sana kaya dengan jambu mente, kopi, sawah, kelapa dan kemiri. Ketika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lokasi tambang dan pabrik semen, para petani dan masa depan generasi mereka terancam kehilangan ruang produksi dan sumber kehidupan. Padahal, UU no. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian menuntut adanya upaya pemerintah untuk menjaga dan mengembangkan lahan pertanian masyarakat.Â
Saya jadi tambah gelisah. Andai kata, pabrik jadi dibangun dan masyarakat tetap menjual tanah mereka, apa yang akan terjadi dengan anak-anak mereka kelak?
Pihak yang selama ini pro dan menjadi tim sukses tambang malah enteng menjawab: "Itukan urusan mereka, itu tanah mereka, kalau mereka mau jual, apa urusan kalian?"
Ada juga yang bilang: "Untuk apa kalian bikin ribut di medsos kalau orang Luwuk dan Lingko Lolok sendiri kebanyakan setuju?"