Sekitar 15 menit menunggu, anak itu tampil di hadapan saya dengan membawa sebuah dompet. Melihat muka polos anak itu, saya malah tak kuasa menahan rasa haru. Air mata saya tiba-tiba mengalir. Saya memeluk anak itu kuat-kuat. Bagi saya ia adalah korban dan tumbal dari kejahatan yang dilakoni kakak-kakaknya.
Anak itu hanya tunduk. Mukanya tak pernah diangkat, apalagi menatap saya.
Lalu, saya mempersilahkan dia masuk ke dalam rumah. Menjamunya dengan minuman dan kue.
"Dek, di mana kamu dapat dompet itu?" tanya saya berpura-pura tak tahu.
Dengan nada polos anak itu menjawab: "Kaka, anjing yang gigit dompet bawa ke rumah," sembari menyerahkan dompet itu. Matanya tetap tak berani menatap saya.
Saya baru sadar kalau dompet itu sengaja disobek-sobek agar alasannya masuk akal, 'digigit anjing'. Luar biasa tipu muslihat anak-anak ini. Demikian gumam saya dalam hati.
Saya kemudian memeriksa isi dompet. Sesuai tebakan, uangnya  lenyap. Surat-surat di dalamnya memang lengkap namun kini diselipkan pada satu saku saja. Sebelumnya, KTP, ATM, SIM dan surat-surat berharga lainnya diselip pada saku yang berbeda.
Bagi saya menginterogasi seorang anak kecil untuk jawaban yang sudah saya ketahui, hanya akan mengganggu psikologinya. Lebih dari itu, saya berpikir ada masalah besar di balik aksi anak-anak itu yang mesti dibongkar.
Setelah selasai minum dan makan kue, anak itu saya persilahkan pulang. Tak lupa saya berikan uang bonus, sebagaimana janji saya.
Sore harinya saya mulai melacak keluarga anak-anak itu dari tetangga. Maklum kami baru beberapa minggu tinggal di sana.
Dari cerita mereka, kondisi keluarga itu memang sangat memprihatinkan. Bahkan beberapa kali tetangga saya melihat anak-anak itu makan nasi sisa yang sudah mengeras di periuk, sebelum mereka mencucinya.