Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi ala Homo Sapiens

1 Mei 2019   10:22 Diperbarui: 1 Mei 2019   12:10 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: Sapiens.org)

Meski diwarnai narasi kebencian, hoaks dan instrumentasi SARA,  pemilu serentak 2019 yang baru saja kita jalankan tak selamanya membawa dampak negatif.

Implikasi positif bagi pematangan demokrasi dan peradaban bangsa justru dilahirkan dari dinamika kampanye yang berlangsung selama beberapa bulan belakangan ini.

Dari kegaduhan yang telah dan sedang berlangsung, kita semakin memahami bahwa ketakutan, kecemasan dan kebencian merupakan sifat bawaan manusia yang telah ada bahkan sejak zaman Sapiens kuno.

Warisan genetik ini diungkap secara tepat dan hati-hati oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya 'Sapiens'. Jutaan tahun lalu, manusia hidup dengan berburu hewan-hewan yang lebih kecil dan pada saat yang sama diburu oleh predator-predator besar.

Baru 400.000 tahun lalu beberapa spesies homo memburu hewan besar secara berkala, dan 100.000 tahun terkahir manusia menguasai puncak tertinggi dalam rantai makanan.

Meski mencapai posisi teratas, demikian Yuval, manusia gagal untuk menyesuaikan diri karena lompatan yang terlalu cepat akibat revolusi kognitif.

Sementara sebagian predator teratas lainnya yang telah berkuasa selama jutaan tahun, memiliki kepercayaan diri dan kemampuan beradaptasi yang tinggi.

Dalam posisi kalah di savanah, nenek moyang kita pun diliputi kecemasan dan ketakutan yang menyebabkan berlipatnya kekejaman dan ancaman bahaya.

Revolusi kognitif kemudian memacu manusia menemukan api. Dengan api, mereka bisa menakut-nakuti hewan buas dan memanggang makanan.

Makanan yang telah terpanggang itu juga menguntungkan spesies kita karena dapat membunuh kuman dan bakteri yang menghambat perkembangan manusia. Itulah sepintas gambaran nenek moyang kita yang hidup sekitar 150.000 tahun lalu di Afrika Timur.

Baru sekitar 70.000 tahun lalu, sapiens mengembara ke Semenanjung Arabia dan dari sana menyebar ke seluruh Eurasia. Ketika sapiens mendarat di Arabia, sebagian Eurasia sudah dihuni oleh manusia lain. Selama masa pengembaraan itu, apa yang terjadi dengan mereka?

Teori Penggantian berasumsi bahwa sapiens mengidentifikasi dirinya berbeda dengan homo lain seperti Neanderthal di Eropa. Mereka memiliki postur tubuh yang lebih besar dan pandai beradaptasi dengan cuaca dingin.

Berbeda dengan teori perkawinan silang, teori penggantian justru menegaskan hasrat primordial manusia yang menemukan ketidakcocokan bahkan disinyalir melakukan genosida terhadap homo lain.

Memang banyak sendi dalam perdebatan ini. Jika Teori Penggantian yang benar, maka semua manusia yang masih hidup secara kasar sebenarnya memiliki kesamaan bawaan genetik dari sapiens purba.

Asal-usul manusia setidaknya memberi kita gambaran untuk mengerti tentang hasrat kebencian dan ketakutan kita terhadap perbedaan. Hasrat itu diwariskan dalam gen kita selama kurang lebih ratusan tahun. Genosida, pelanggaran HAM, dan peperangan merupakan gambaran nyata genetik purba yang masih berlangsung di abad ini.

Dari berita kita juga mendengar perkelahian sesama saudara gara-gara beda pilihan, arogansi kelompok mayoritas, rusaknya keharmonisan antara tetangga, penolakan terhadap orang yang berbeda latar belakang agama, bahkan membias ke urusan makam orang mati seperti yang terjadi Yogyakarta dan Gorontalo.

Bahkan narasi kemanusiaan yang diangkat dalam kasus kematian buruh migran di luar negeri yang angkanya sangat fantastis di Propinsi NTT, malah mendapat sambutan bully, cibiran dan caci maki di media sosial.

Dari pemilu serentak 2019, kita dapat melihat dengan terang bagaimana sifat purba itu dipertontonkan dengan gamblang oleh perselisihan tajam antara kecebong vs kampret.

Watak itu juga menjadi tontonan publik yang dilakoni politisi haus makanan (Baca: Kekuasaan). Panggung politik seperti savana dan hutan tempat binatang-binatang purba saling membunuh demi mendapat makanan.

Namun sebagai makhluk yang diberikan keunggulan lebih di bidang otak (revolusi kognitif), kita seharusnya mampu mengolah hasrat bawaan itu secara bijak dan benar. Itulah sebabnya manusia disebut homo sapiens, manusia bijak. Revolusi kognisi adalah jawaban mengapa kita berbeda dengan kera, singa, harimau, keledai, ular, anjing dan binatang lainnya.

Dengan kata lain, politisi yang gemar mempertontonkan watak kebinatangannya dalam panggung demokrasi adalah 'homo' yang lamban berevolusi.

Dalam konteks berdemokrasi, kebijaksanaan manusia itu dinyatakan dalam sikap saling menerima perbedaan, saling menghargai dan menjunjung sportivitas dalam persaingan. Tanggung jawab kita sebagai 'binatang' yang berakal-budi ialah menjaga keharmonisan, kedamaian dan keutuhan makhluk ciptaan Tuhan.

Makna Kegaduhan Demokrasi

Kegaduhan demokrasi yang didukung oleh fenomena pasca-kebenaran dan era disrupsi ini juga bisa dibaca secara positif. Setelah mengalami revolusi kognisi, manusia terus melejit ke revolusi agrikultural, revolusi saintifik hingga yang paling mutakhir adalah revolusi industri 4.0.

Dinamika dan dialektika kehidupan menegaskan bahwa perubahaan tak dapat disangkal. Tidak ada yang tidak berubah selain perubahan itu sendiri, demikian kata Heraklitos.

Karena itu, sebagai makhluk yang sadar, kegaduhan demokrasi akibat gempuran hoaks, ujaran kebencian dan instrumentasi SARA dapat dibaca sebagai proses pematangan diri manusia Indonesia.

Kita semakin mengerti siapa diri kita, bagaimana seharusnya kehidupan ini dijalankan serta ke mana tujuan hidup kita. Dalam konteks politik, kita mestinya sadar bahwa komunitas besar yang bernama Indonesia lahir dari sebuah visi dan landasan yang sama seperti yang tertuang dalam Pancasila.

Memiliki visi merupakan keunggulan spesies manusia yang tidak dimiliki saudara kita sesama binatang. Jika merujuk 'Sapiens', komunitas-komunitas manusia zaman purba mampu hidup bersama karena punya kemampuan menciptakan fiksi yang tertuang dalam visi.

Visi itulah yang melahirkan Pancasila sebagai titik temu sekaligus titik tuju bersama. Dengan adanya fenomena kebencian yang nyaris memecah-belah bangsa, kita akhirnya mengerti mengapa founding fathers menelurkan Pancasila. Bahwa Pancasila memang titik persinggungan semua perbedaan dengan landasan utamanya, kemanusiaan.

Hoaks dan ujaran kebencian juga semakin mengasa kewarasan berpikir kita untuk kritis dan tajam dalam membedakan sesuatu. Kita semakin terbiasa dan terlatih untuk menghadapi gempuran hoaks serta membedakan dengan tajam mana yang benar dan salah, mana yang palsu dan asli, mana yang baik dan mana yang akan merusak masa depan Negara-bangsa Indonesia.

Demikian pun dengan instrumentasi SARA, kita semakin dilatih untuk mengelolah perbedaan menjadi kekuatan. Kita mengerti bahwa manusia Indonesia memang berbeda. Bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Bahwa Indonesia memang lahir dari perbedaan dan jika perbedaan itu terus dieksploitasi demi hasrat kekuasaan purba, pasti akan membakar rumah kita bersama, membakar diri kita dan masa depan bangsa Indonesia.

Pada akhirnya kemampuan untuk membedakan hasrat pragmatis dan hasrat kebaikan bersama mesti menjadi keutamaan kolektif dalam hidup berdemokrasi.

Sebagai makhluk politik, kita semua terutama elit politik juga dituntut untuk membedakan hasrat 'purba' dan hasrat manusia yang beradab serta berakhlak.

Jangan sampai demokrasi kita mundur jauh ke zaman purbakala, sementara bangsa lain kian maju menyongsong era industri 4.0.

Catatan: Tulisan ini telah dipublikasi di VoxNtt.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun