Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menstruasi atau Banjir Bandang?

11 Desember 2021   16:50 Diperbarui: 11 Desember 2021   17:04 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya selalu stres setiap kali mendapat giliran untuk cek medis tahunan itu. Sebab, level hemoglobin saya, alias Hb, biasanya hanya 6. Padahal minimal seharusnya 9, bahkan 12 untuk perempuan. Tapi, level Hb saya selalu hanya 6. Karena rendahnya level Hb, saya selalu dipanggil oleh dokter di klinik perusahaan.

Mereka selalu sudah ingin mengirim saya ke rumah sakit untuk diopname. Tapi, mereka juga terheran-heran melihat saya masih bisa berdiri tegak, berjalan tegap, meski level Hb hanya 6. Menurut dokter, biasanya dengan level serendah itu, saya seharusnya tak lagi bisa berjalan.

Saya yakinkan bahwa saya baik-baik saja. Tidak ada masalah. Merasa pusing pun tidak, tidak "melayang" pula. Jadi, saya selalu lolos dari "ancaman" opname. Meski demikian, dokter menganjurkan saya untuk periksa lebih lanjut ke ahli penyakit dalam di rumah sakit.

Saya mengabaikan anjuran dokter itu. Sebab, insting saya mengatakan kalau saya memeriksakan diri, pasti akan ditemukan penyakit yang tidak saya harapkan.

Sampai akhirnya Ramadan 2017 dimulai pada pertengahan Mei. Baru beberapa hari menjalankan puasa, saya sudah harus batal gara-gara mens. Saya pasrah saja.

Hingga lebih dari dua pekan, mens masih belum berhenti juga. Masih deras dan banyak. Saya mulai berpikir, ada apa dengan badan saya. Rekan sekantor yang lebih senior, mereka yang perempuan tentu saja, tahu kondisi saya setiap bulan. Mereka mendesak saya untuk memeriksakan diri, langsung saja ke ahli ginekologi. Ternyata orang-orang rumah juga berpikiran sama.

Gara-gara Mioma

Saya pun mendaftarkan diri ke rumah sakit yang lokasinya dekat dengan rumah, Rumah Sakit Islam. Ada ahli kandungan yang praktik pada Sabtu, pukul 3 sore. Saya datang dengan membawa banyak bekal pembalut, karena yah, seperti biasa, banjir bandang.

Dokter yang saya datangi adalah laki-laki. Tapi, saya tidak memikirkan lagi apakah dokter itu laki-laki atau perempuan. Toh, suster yang membantu pak dokter adalah perempuan.

Setiba di ruang praktik, saya harus segera berganti pembalut. Kebetulan pak dokter belum tiba. Kemudian saya menunggu sekitar 10 menit. Saat bertemu dokter, saya menceritakan semuanya. Pak dokter, mungkin karena sudah sangat berpengalaman, mengatakan di dalam rahim saya mungkin ada "apa-apanya".

Saya diminta berbaring untuk menjalani USG. Benar saja, dari hasil pindaian alat itu, di dalam rahim saya ada sekumpulan besar benda gelap yang tidak tertembus oleh sinar. Karena itulah warnanya jadi hitam.

Pak dokter lantas merekomendasikan saya untuk segera dioperasi. Saya pikir itu memang jalan terbaik. Tidak mungkin saya menolak, karena memang sudah sangat parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun