Bab 2: Sang Arsitek Keretakan
Uap panas yang naik dari aspal Pelabuhan Tanjung Priok terasa seperti napas demam dari sebuah kota yang sedang sakit. Di sini, di gerbang utama Batavia, ketegangan bukanlah sebuah rahasia; ia menggantung di udara yang berat dan asin, sama nyatanya dengan bau solar, ikan busuk, dan tembakau kretek. Para kuli angkut pribumi bergerak dengan kepala tertunduk, otot-otot mereka menonjol saat memindahkan peti-peti berat, tatapan mata mereka selalu waspada, menghindari pandangan para serdadu KNIL yang berpatroli dengan angkuh, senapan mereka tersandang seolah siap ditembakkan kapan saja. Setiap tatapan yang bertemu terlalu lama terasa seperti percikan api di dekat tumpukan jerami kering.
Dari perut kapal penumpang SS Oranje yang megah, sesosok pria melangkah menuruni tangga. Namanya Pieter van den Heuvel. Pada usia empat puluhan, ia membawa aura kelelahan yang mendalam. Jas Eropanya yang dijahit dengan baik tampak sedikit kusut setelah perjalanan panjang, dan garis-garis di sekitar matanya menceritakan kisah lebih banyak malam tanpa tidur daripada yang bisa ia hitung. Matanya yang biru kelabu memiliki tatapan seorang pria yang telah melihat terlalu banyak hal, tatapan yang sering disalahartikan sebagai kesedihan, padahal sebenarnya adalah kekosongan yang terkendali. Bagi para pengamat, ia adalah gambaran sempurna dari seorang diplomat yang dikirim dari sebuah benua yang hancur oleh perang, kini ditugaskan untuk mencegah perang lain di belahan dunia yang berbeda.
Di dermaga, sebuah komite penyambutan kecil yang kaku telah menunggunya. Beberapa pejabat sipil dari pemerintahan kolonial, didampingi oleh seorang perwira militer yang tampak tidak sabar. Jabat tangan mereka singkat dan formal. Tidak ada kehangatan, hanya kewajiban birokrasi.
"Selamat datang di Batavia, Tuan van den Heuvel," sapa pejabat tertinggi, suaranya kering. "Kami harap perjalanan Anda menyenangkan."
"Perjalanan yang panjang, tapi diperlukan," jawab Pieter, suaranya tenang dan terukur. "Semoga kehadiran saya di sini bisa membantu mempercepat jalan menuju solusi yang damai dan stabil."
Kata "damai" dan "stabil" diucapkannya dengan nada yang tulus, sebuah pertunjukan kecil yang telah ia latih berkali-kali di depan cermin kabinnya. Perwira militer di samping pejabat itu mendengus pelan, nyaris tak terdengar.
Perjalanan dengan mobil menuju pusat kota adalah sebuah tur singkat melewati realitas Federasi yang terbelah. Mereka melintasi kawasan Eropa yang tertata rapi, dengan vila-vila megah berhalaman luas dan jalanan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Lalu, tiba-tiba pemandangan berubah drastis saat mereka melewati perbatasan tak terlihat menuju perkampungan pribumi. Jalanan menyempit, rumah-rumah berdempetan, dan kehidupan tumpah ruah ke gang-gang yang becek. Pieter menatap semua itu dari balik kaca mobilnya, bukan dengan rasa iba atau jijik, melainkan dengan tatapan seorang ahli anatomi yang sedang membedah sebuah organisme yang kompleks. Ia mencatat segalanya: di mana letak kekuatannya, di mana letak retakannya.
Malam harinya, setelah formalitas selesai, Pieter meninggalkan kemewahan Hotel Des Indesiana. Ia menuju sebuah klub pria Belanda yang eksklusif di dekat Koningsplein, sebuah benteng dari dunia lama. Di dalamnya, udara terasa berat oleh asap cerutu dan aroma gin. Dinding kayu yang gelap dan kursi-kursi kulit yang dalam meredam suara hiruk pikuk kota, menciptakan sebuah gelembung kenyataan di mana kekuasaan kolonial masih terasa absolut.
Di sebuah ruang belakang yang remang-remang, atasannya sudah menunggu. Jenderal van Vliet, kepala dinas intelijen Hindia Belanda, adalah seorang pria tua dengan wajah seperti pahatan granit dan mata yang tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia tidak membuang waktu untuk basa-basi.
"Lupakan pidato manismu tentang 'solusi damai', Pieter," kata van Vliet, suaranya serak seperti kerikil. "Kau dan aku tahu kenapa kau ada di sini."
Pieter duduk, menerima segelas gin yang disodorkan kepadanya. Di ruangan ini, topeng diplomatnya luruh. Wajahnya yang lelah kini menunjukkan ketajaman seorang predator. "Saya mengerti, Jenderal. Bagaimana situasinya?"
"Rumit," jawab van Vliet. "Kaum Republiken ini lebih merepotkan dari yang kita duga. Mereka terpecah, tapi semangat mereka menyala. Di satu sisi, ada para politisi tua, para priyayi yang dididik di Leiden. Mereka bicara tentang demokrasi dan konstitusi. Mereka takut pada kekacauan. Mereka bisa diajak bicara. Mereka lunak."
Ia berhenti sejenak, menyesap gin-nya. "Di sisi lain," lanjutnya, "ada para pemuda di hutan. Para komandan gerilya seperti si Iskandar itu. Mereka tidak peduli pada konstitusi. Mereka hanya peduli pada peluru dan kemerdekaan penuh. Mereka radikal, emosional, dan berbahaya. Mereka adalah api yang harus dipadamkan."
Pieter mengangguk pelan. "Jadi, misinya adalah untuk memisahkan keduanya."
Van Vliet tersenyum tipis, sebuah pemandangan yang langka dan tidak menyenangkan. "Tepat sekali. Kau adalah sang arsitek keretakan. Gunakan pesonamu, gunakan logikamu. Yakinkan para politisi tua itu bahwa para pemuda di hutan adalah ancaman bagi masa depan mereka sendiri. Bingkai para pejuang itu sebagai ekstremis yang akan menyeret negeri ini ke dalam pertumpahan darah. Tawarkan para politisi itu posisi, kekuasaan, otonomi dalam struktur Federal kita. Buat mereka melihat bahwa bekerja sama dengan kita lebih menguntungkan daripada mati bersama para radikal."
"Dan sementara itu," kata Pieter, melanjutkan logika atasannya, "operasi militer terus menekan faksi garis keras di lapangan."
"Tentu saja," kata van Vliet. "Kita pukul mereka di hutan, dan kita peluk mereka di meja perundingan. Kita ciptakan tekanan dari dua arah. Perdamaian hanya akan datang jika mereka sudah terlalu lemah untuk berperang satu sama lain."
Itulah misi yang sesungguhnya. Bukan untuk menciptakan perdamaian, tetapi untuk merekayasa kelelahan. Bukan untuk menyatukan, tetapi untuk memecah belah hingga hancur berkeping-keping, lalu memungut pecahan yang paling berguna.
Malam itu, kembali ke balkon kamarnya di Hotel Des Indesiana, Pieter menatap Batavia yang terhampar di bawahnya. Dari kejauhan, ia bisa mendengar sayup-sayup alunan gamelan dari sebuah kampung, sebuah melodi melankolis yang seolah meratapi nasibnya sendiri. Dari arah lain, terdengar alunan musik waltz dari aula dansa hotel, sebuah lagu tentang dunia yang menolak untuk mati. Dua suara, dua dunia, di kota yang sama. Tugasnya adalah memastikan kedua suara itu tidak akan pernah menemukan harmoni. Ia menghela napas, menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia teringat pada reruntuhan kota-kota di Eropa, pada wajah-wajah para prajurit muda yang mati sia-sia. Ia meyakinkan dirinya sendiri, sekali lagi, bahwa apa yang akan ia lakukan di sini, betapapun sinisnya, adalah sebuah kebaikan yang kejam. Menciptakan kekacauan adalah cara yang paling efisien untuk mengakhiri perang. Peluru membunuh tubuh, tetapi ide yang ia tanam akan membunuh semangat perlawanan mereka dari dalam. Dan itu, pikirnya, jauh lebih permanen.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI