Mohon tunggu...
Jack Sandro
Jack Sandro Mohon Tunggu... pemuda

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Fajar yang Tertunda (Part-2)

3 Oktober 2025   08:40 Diperbarui: 3 Oktober 2025   08:40 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 2: Sang Arsitek Keretakan

Uap panas yang naik dari aspal Pelabuhan Tanjung Priok terasa seperti napas demam dari sebuah kota yang sedang sakit. Di sini, di gerbang utama Batavia, ketegangan bukanlah sebuah rahasia; ia menggantung di udara yang berat dan asin, sama nyatanya dengan bau solar, ikan busuk, dan tembakau kretek. Para kuli angkut pribumi bergerak dengan kepala tertunduk, otot-otot mereka menonjol saat memindahkan peti-peti berat, tatapan mata mereka selalu waspada, menghindari pandangan para serdadu KNIL yang berpatroli dengan angkuh, senapan mereka tersandang seolah siap ditembakkan kapan saja. Setiap tatapan yang bertemu terlalu lama terasa seperti percikan api di dekat tumpukan jerami kering.

Dari perut kapal penumpang SS Oranje yang megah, sesosok pria melangkah menuruni tangga. Namanya Pieter van den Heuvel. Pada usia empat puluhan, ia membawa aura kelelahan yang mendalam. Jas Eropanya yang dijahit dengan baik tampak sedikit kusut setelah perjalanan panjang, dan garis-garis di sekitar matanya menceritakan kisah lebih banyak malam tanpa tidur daripada yang bisa ia hitung. Matanya yang biru kelabu memiliki tatapan seorang pria yang telah melihat terlalu banyak hal, tatapan yang sering disalahartikan sebagai kesedihan, padahal sebenarnya adalah kekosongan yang terkendali. Bagi para pengamat, ia adalah gambaran sempurna dari seorang diplomat yang dikirim dari sebuah benua yang hancur oleh perang, kini ditugaskan untuk mencegah perang lain di belahan dunia yang berbeda.

Di dermaga, sebuah komite penyambutan kecil yang kaku telah menunggunya. Beberapa pejabat sipil dari pemerintahan kolonial, didampingi oleh seorang perwira militer yang tampak tidak sabar. Jabat tangan mereka singkat dan formal. Tidak ada kehangatan, hanya kewajiban birokrasi.

"Selamat datang di Batavia, Tuan van den Heuvel," sapa pejabat tertinggi, suaranya kering. "Kami harap perjalanan Anda menyenangkan."

"Perjalanan yang panjang, tapi diperlukan," jawab Pieter, suaranya tenang dan terukur. "Semoga kehadiran saya di sini bisa membantu mempercepat jalan menuju solusi yang damai dan stabil."

Kata "damai" dan "stabil" diucapkannya dengan nada yang tulus, sebuah pertunjukan kecil yang telah ia latih berkali-kali di depan cermin kabinnya. Perwira militer di samping pejabat itu mendengus pelan, nyaris tak terdengar.

Perjalanan dengan mobil menuju pusat kota adalah sebuah tur singkat melewati realitas Federasi yang terbelah. Mereka melintasi kawasan Eropa yang tertata rapi, dengan vila-vila megah berhalaman luas dan jalanan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Lalu, tiba-tiba pemandangan berubah drastis saat mereka melewati perbatasan tak terlihat menuju perkampungan pribumi. Jalanan menyempit, rumah-rumah berdempetan, dan kehidupan tumpah ruah ke gang-gang yang becek. Pieter menatap semua itu dari balik kaca mobilnya, bukan dengan rasa iba atau jijik, melainkan dengan tatapan seorang ahli anatomi yang sedang membedah sebuah organisme yang kompleks. Ia mencatat segalanya: di mana letak kekuatannya, di mana letak retakannya.

Malam harinya, setelah formalitas selesai, Pieter meninggalkan kemewahan Hotel Des Indesiana. Ia menuju sebuah klub pria Belanda yang eksklusif di dekat Koningsplein, sebuah benteng dari dunia lama. Di dalamnya, udara terasa berat oleh asap cerutu dan aroma gin. Dinding kayu yang gelap dan kursi-kursi kulit yang dalam meredam suara hiruk pikuk kota, menciptakan sebuah gelembung kenyataan di mana kekuasaan kolonial masih terasa absolut.

Di sebuah ruang belakang yang remang-remang, atasannya sudah menunggu. Jenderal van Vliet, kepala dinas intelijen Hindia Belanda, adalah seorang pria tua dengan wajah seperti pahatan granit dan mata yang tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia tidak membuang waktu untuk basa-basi.

"Lupakan pidato manismu tentang 'solusi damai', Pieter," kata van Vliet, suaranya serak seperti kerikil. "Kau dan aku tahu kenapa kau ada di sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun