Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengapa Saya Kurang Setuju dengan Tradisi Salam Tempel untuk Anak-anak

9 Mei 2021   21:04 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:51 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi salam tempel berpotensi membuat anak memiliki pemikiran materialistis. Tidak menutup kemungkinan mereka akan pilih-pilih terhadap keluarganya | Sumber: Envanto Elements

Entah darimana dan bagaimana persisnya muncul tradisi salam tempel di masyarakat kita. Tapi yang pasti tradisi ini seringkali kita temui saat bersilaturahmi di hari raya. Lebaran, Imlek, Natal, bahkan ketika hanya sekadar berkunjung ke rumah sanak saudara yang tinggal jauh.

Saat saya masih kecil ketika berkunjung ke rumah saudara, atau ketika ada kerabat yang datang dari jauh berkunjung ke rumah, terkadang saya memperoleh salam tempel dari mereka. Atau ketika saya ikut acara adat Batak tertentu dan mendapat saweran hasil manortor (menari Tortor).

Kalau diperhatikan, orangtua saya kadang juga melakukan hal yang sama sih. Memberikan salam tempel kepada anak-anak mereka.

Tapi sebetulnya orangtua saya tidak mendidik anak-anaknya untuk terbiasa menerima salam tempel. Seringnya mereka bahkan melarang kami untuk menerima apalagi meminta salam tempel dari orang lain. Paling hanya dari anggota keluarga yang paling dekat saja. Itupun saya tidak diperbolehkan memegang seluruh uang yang saya terima.

Saya harus memberikan seluruh atau sebagian uang salam tempel kepada orangtua saya, dan itu membuat saya suka merasa sebal. Siapa yang tidak kesal kalau tambahan uang jajan yang kita peroleh malah 'disita' orangtua, ya nggak?

Biasanya orangtua mengatakan bahwa mereka yang akan menyimpannya dan akan dikembalikan setelah kita sudah besar. Padahal uang tersebut ujung-ujungnya dipakai untuk kebutuhan kita juga. Lagipula siapa juga yang akan menagih uang salam tempel ketika kita sudah besar? 

Yah, tidak ada salahnya juga sih. Tradisi ini sekadar untuk memeriahkan suasana dan lagipula tidak sering-sering dilakukan, bukan?

Tapi menurut saya tradisi salam tempel ini sedikit banyak memberikan efek yang tidak baik terhadap pemahaman anak-anak. Apa saja itu?

Ilustrasi: Doughman via kompas.com
Ilustrasi: Doughman via kompas.com

1. Anak-anak tidak menghayati makna sebenarnya dari suatu acara

Seperti yang sudah saya singgung di atas, biasanya tradisi salam tempel dilakukan pada saat silaturahmi dengan keluarga di hari raya tertentu. Tujuannya jelas: silaturahmi.

Namun ketika ada tradisi salam tempel, yang diingat anak-anak ya bisa jadi hanya salam tempelnya. Mereka tidak fokus pada silaturahmi dengan keluarganya. Padahal anak-anak juga perlu membangun bonding dengan kerabatnya yang lain.

2. Berpotensi menimbulkan watak materialistis

Perlu diingat bahwa anak-anak punya pemikiran yang sederhana. Hal-hal yang membuat mereka merasa senang akan lebih berkesan bagi mereka.

Tradisi salam tempel berpotensi membuat anak memiliki pemikiran materialistis. Tidak menutup kemungkinan mereka akan pilih-pilih terhadap keluarganya.

Contoh, seorang anak lebih suka berkunjung ke rumah kakek atau neneknya dibanding ke rumah pamannya karena nominal salam tempel dari kakek/neneknya lebih besar. Atau bahkan mereka tidak segan-segan untuk meminta salam tempel ketika berkunjung atau dikunjungi kerabat.

3. Anak-anak merasa bisa melakukan apa saja dengan uang yang dimiliki

Terkadang orangtua memberi pemahaman yang keliru, yakni membuat anak berpikir bahwa mereka bisa melakukan apa saja yang diinginkan kalau mereka punya uang sendiri.

Ya ada benarnya juga sih, tapi pemahaman yang keliru bisa membuat anak menjadi keras kepala dan tidak bijak mempergunakan uang yang dimilikinya. Terutama ketika mereka merasa sudah menghasilkan uang sendiri walau hasil dari salam tempel.

Misal mereka ngotot untuk menggunakan uang hasil salam tempel untuk membeli hal-hal yang mereka inginkan, bukannya sesuatu yang mereka butuhkan.

Justru saat masih anak-anak, mereka harus diajari untuk bijak menggunakan uang. Mereka harus diajari memilih, misal membeli mainan atau perlengkapan sekolah. Mereka juga harus diajari untuk menabung atau bersedekah.

Satu hal yang perlu dicatat juga, sebaiknya jangan memaklumi dengan pemahaman 'namanya juga anak-anak' ketika mereka sudah salah kaprah dengan tradisi salam tempel. Justru sejak masih anak-anaklah mereka harus diajari salam tempel bukanlah tradisi yang utama.

Jika memang orangtua belum mengizinkan anak memegang uangnya sendiri ketika memperoleh salam tempel, sebaiknya jangan janjikan mereka untuk mengembalikan uang mereka.

Beri mereka pengertian secara terus terang, bahwa uang yang mereka 'titipkan' akan digunakan untuk tabungan atau membeli kebutuhan mereka. Misal uang sekolah, perlengkapan sekolah, susu, dan lainnya. Dengan demikian mereka tidak perlu ngotot untuk menagih atau ngambek karena merasa dibohongi.

Saya memahami bahwa bagi sebagian orangtua atau keluaraga, memberikan salam tempel bisa jadi suatu bentuk ungkapan sayang supaya anak-anak merasa senang. Jadi semua saya kembalikan lagi kepada masing-masing bagaimana memandang tradisi salam tempel ini.

Cherio!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun