Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Serbuan Budaya Asing dan Takutnya Orangtua

9 Desember 2018   10:01 Diperbarui: 9 Desember 2018   12:39 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: ivoox.com

Tahun 2002, Indonesia dilanda demam lagu "Asereje" dari girlband asal Spanyol; The Last Ketchup. Lagunya yang catchy disertai dengan gerakan dance-nya yang menarik untuk diikuti, menjadikan lagu ini diputar dimana-mana.

Tak sampai lama, berembus kabar bahwa lagu The Last Ketchup ini merupakan bagian dari ritual pemujaan setan. Tak sampai lama juga, kabarnya, tarian yang ada di dalamnya, yang merupakan bagian ritual satanisme. Meski pada tahun itu belum ada aplikasi pesan seperti whassap atau BBM, kabar ini beredar dari mulut ke mulut, dari pelbagai grup ke grup. Meskipun, hingga hari ini, The Last Ketchup menyangkal soal keterlibatan satanisme dalam karya mereka.

The Last Ketchup bukan satu-satunya pesohor yang pernah terkenal karena kontroversi karyanya. Ricky Martin juga sempat membuat heboh dengan video "Livin' La Vida Loca" nya di tahun 2007, sebab memertontonkan banyak tarian erotis.

Madonna, juga termasuk penyanyi yang paling sering dikritik. Album "Livin' like a prayer" miliknya sempat menuai protes sebab beberapa liriknya dinilai menghina gereja katolik Roma. Belum lagi banyak video klip Madonna yang dinilai seronok, dan itu di tahun 80-an, jauh sebelum anak zaman now jadi Army (sebutan untuk fans BTS).

Di kalangan aktris, Demi Moore sempat membuat geger dunia persilatan, sebab berfoto telanjang saat hamil di majalah Vanity Fair di tahun 1991. Sebagian kalangan menilai foto besutan Annie Leibovitz itu sebagai "art", yang lain mengutuknya sebagai pornografi.

Semua contoh di atas hanya sedikit dari sekian banyak contoh tentang bagaimana kehebohan yang ditimbulkan para pesohor sudah berlangsung lama, dan masyarakat Indonesia yang setia dengan Pancasila ini mengetahuinya. Menjadi sedikit berbeda, mungkin, karena zaman dulu belum ada internet, belum ada media sosial dan netizen yang keminter belum lahir.

Di era 80 sampai 90-an akhir, banyak kabar tentang dunia selebriti (apalagi internasional) hanya diketahui oleh mereka yang memang rajin membaca majalah atau senang mendengarkan lagu barat dan menonton film barat.

Masih "barat", sebab dulu budaya asing yang masuk melulu dari Amerika.

Anak-anak muda yang tahu Madonna, berjoget "I am a barbie girl ... in a Barbie world ..."  dan nonton serial FRIENDS, hanya mereka yang memang menyukai tayangan asing, dan rata-rata tinggal di kota besar. Setahu saya sih begitu.

Hari ini, jangankan kota besar, anak muda di kampung terpencil saja kemungkinan pernah mengakses salah satu video selebriti favoritnya melalui Youtube, thanks to Internet.

Hari ini pula, rasanya hampir semua orang merasa amat dekat dengan Kroya, eh, Korea. Serangan budaya Korea memang sangat bombastis, tak hanya mencengkeram emak-emak pecinta drakor, namun juga menarik hati para anak muda dengan musiknya, dengan tariannya.

Buat saya, ini hanya beda bungkus.

Dulu, banyak orangtua khawatir dengan begitu masifnya penetrasi budaya barat lewat tayangan sitkom dan film (dengan budaya kumpul kebo, LGBT, kehidupan bebas) serta lagu (lirik cabul, kehidupan bebas, video klip seronok). Sekarang penetrasi tersebut masih ada, hanya berganti judul: Korea.

Apa yang orangtua dulu lakukan untuk menangkal budaya barat?

Beda-beda pastinya. Ada yang mengomel seharian ketika melihat anaknya nonton MTV setiap saat. Ada yang semakin panjang durasi omelannya, ketika tahu rapor anaknya jelek, karena terlalu sering nonton Sara Sechan dan Jamie Aditya.

Ada yang membiarkan, dengan pembatasan. Ada yang cuek, sebab orangtua tak paham. Ada yang woles saja, sebab anaknya lebih suka dengerin Darso, ketimbang Backstreet Boys.

Persis seperti sekarang.

Bedanya, sekarang dengan adanya medsos, orangtua bisa lebih meluaskan jangkauannya terhadap anak. Sebab selalu ada brodkes berbau kepanikan dari orangtua lainnya, untuk kemudian dibagikan beramai-ramai oleh semua orang.

Bapak, Ibu, yang diberikan keistimewaan menjadi orangtua:

Akan selalu ada gempuran budaya dari pelbagai sisi kiri dan kanan, atas dan bawah. Dulu, ia bernama budaya barat, hari ini kita menyebutnya K-Pop. Esok, entah apa lagi. Mungkin budaya suku Eskimo atau Amazon.

Masalahnya adalah, apapun budaya yang masuk, sekuat apapun gempuran yang masuk, pihak mana yang seharusnya lebih kuat?

Anda, sebagai orangtuanya.

Tak mungkin kita berharap dunia akan menjadi tempat yang ramah sebagai tempat anak-anak kita bertumbuh. Sebab itu mustahil. Beres dengan gempuran budaya nganu, akan ada fenomena baru lagi, yang membuat kita panik dan berteriak.

Anda tidak lelah?

Heboh film "The Raid" tahun 2012 yang katanya ndak cocok ditonton keluarga, ya eyaaalaaah, menurut ngana, rating film fungsinya buat apa? Stiker lucu-lucuan?

Sekarang soal K-Pop. Sayapun agak terguncang dengan kenyataan ini, sebab ternyata di mata anak muda, definisi kegantengan seorang lelaki itu sudah sangat jauh bergeser. Mengenai musiknya, saya tak paham; barangkali memang yang seperti itulah yang mereka sukai zaman sekarang.

Soal cara berpakaian mereka yang seksi-seksi (girlband-nya berarti ya), bukankah banyak penyanyi lainnya, bahkan penyanyi Indonesia yang juga melakukan hal yang sama?

Jika Anda agak emosi membaca ini, tahan dulu. Saya tidak hendak membuat justifikasi dengan mengatakan bahwa hal yang demikian itu wajar.

Saya pun orangtua, dari empat anak, yang masih harus terus update dengan masalah kekinian. Pun begitu, saya melihat budaya KPop ini sama dengan budaya barat yang dulu menggempur sejak saya remaja.

Saya sampai harus ikut menonton beberapa video klip KPop, untuk tahu "apa sih yang bikin mereka suka", dan saya tetap gagal paham. Sampai akhirnya di rumah, kami sering membicarakan tentang suka duka para idol menggapai impiannya menjadi Boyben atau girlben. Ternyata sangat menarik, kapan-kapan saya cerita, deh.

Soal anime, komik, Webtoon, hallyu, otaku, wibu, dan lain-lain ... adalah sekian kosa kata baru yang terpaksa saya lahap dan saya cari dan baca, sebab saya ingin tahu dunia macam apa yang sedang dihadapi anak-anak saya.

Intinya, gempuran budaya asing akan terus ada, Moms and Dads. Dan jika kita menganggapnya sebagai musuh, bukankah akan lebih baik jika kita mengetahui siapa musuh kita?

Most of the times, people are afraid of something that they do not know, and this is dangerous.

Sebelum Anda marah-marah soal K-Pop, bukankah akan lebih baik jika Anda tahu dulu? Setelah tahu, tak masalah Anda akan melarangnya. Yang lebih penting, Anda duduk bersama anak dan membahas ini.

Mengapa penting sekali untuk membahas ini?

Sebab anak, apalagi menginjak remaja; takkan cukup dengan kata "Ga boleh!", mereka butuh tahu kenapa tidak boleh. Bukankah kita dulu (juga) sering merasa orangtua sangat otoriter ketika melarang sesuatu? Padahal kita hanya ingin tahu.
"ga usah ingin tahu, nanti kebablasan."

Jika Anda jenis orangtua yang sering mengatakan kalimat di atas, silakan. Namun percayalah, anakpun layak diberikan kepercayaan. Mereka tahu kok, mana yang benar dan salah. Kan Anda sudah mengajarkan, toh?

"Gimana kalo anak saya iya-iya di depan saya, namun melanggar di belakang saya?"

Berarti ada yang salah dengan pola komunikasi Anda dengan anak, simpel.

"Anak saya jadi malas belajar, itu gara-gara KPop."

Pertanyaan saya: yang kasih gawai, siapa? Personel Black Pink? Tetangga depan rumah?

Jika ingin lebih ekstrim lagi, jangan ada televisi di rumah. Kondisikan rumah Anda bebas dari gawai, dan pelbagai tontonan. Sediakan banyak buku bacaan dan permainan. Kembalilah ke era tahun 70-80an dengan banyak permainan tradisional. Mengenai buku bacaan, syaratnya cuma satu: Anda sebagai orangtuanya juga suka baca, ga cuma suka nyuruh.

Saya mengagumi beberapa teman, yang konsisten memiliki cara mendidik anak-anak mereka. Ada yang meniadakan televisi dan menyediakan pelbagai aktivitas bermain untuk anak-anak di rumah. Ada yang memaksa diri menjadi pembaca buku dan rajin membelikan buku bacaan.

Intinya, ada banyak jalan menuju Roma, Ani!

Menjadi orangtua itu hak istimewa, sebuah privilege. Anda itu manusia terpilih yang diserahi amanat berupa manusia. Andalah yang harus mendidik mereka menjadi manusia yang berguna.

Sebab nanti yang bertanggungjawab di dunia dan ditanyai di akhirat bukan gawai, bukan Youtube, bukan guru di sekolah, bukan personil Black Pink, bukan yang bikin medsos.

Anda.

Repot ya?

Emaaang. Baru tahu?

Jangan pernah berharap dunia akan bermanis-manis pada anak-anak kita, sebab sejatinya dunia ini kejam dan penuh tipu daya. Kitanya sebagai orangtua yang harus berilmu, dan harus pede.

Katakan pada semua orang,

"Mau digempur budaya apapun, saya siap. Sebab saya orangtua yang hebat."

Begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun