Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masa Kecil dan Asian Games yang akan Sangat Dirindukan

28 Agustus 2018   23:05 Diperbarui: 28 Agustus 2018   23:12 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ucok, hey Ucok!"

Ucok, teman saya yang Ayahnya sopir angkot tembak dengan banyak anak itu, menoleh.

"Apa?" matanya tambah sipit karena tersenyum.

"Maneh, rek natalan nya?" Budi, teman saya yang lain menjajari langkahnya.

(Kamu mau merayakan Natal ya, Cok).

Bersemangat Ucok mengangguk. Ayahnya boleh jadi hanya seorang sopir tembak, namun Ucok otaknya encer macam cendol hijau yang diaduk dengan gula (dan es yang terlalu banyak). Ia paling jago matematika di SD kami dulu.


"Naha si Ucok natalan?" Arief bertanya.

(Kok Ucok merayakan Natal?)

"Apanan si eta mah karesten, ai maneeh ..."

(kan dia orang Kristen)

"Ooh ... Selamat Natal ya Cok!"

"Iya, makasih ya ..." Ucok tersenyum lebih lebar.

Ucok atau Perdamaian Sitompul adalah satu dari teman saya semasa SD. Keseharian kami diisi dengan belajar, bermain dan saling mengejek satu sama lain. Enam tahun bukan waktu yang sebentar, tentu.

Di balik semua ejekan itu, semua permainan bebentengan yang kami mainkan, dan sering berakhir rusuh, ada kasih sayang anak kecil yang tak ribet oleh stigma, tak luruh karena merasa musuh.

Ucok hanya satu dari sekian banyak teman saya. Ada Budi yang jangkung, dan jago olahraga. Ada almarhumah Chen Chen yang blasteran Cina-Batak, ada Eneng Patmah yang orang Sunda asli.

Setelahnya, di SMP, SMA, teman-teman saya lebih beragam. Ada yang berkulit putih terang, yang berkulit gelap,  yang rambutnya kriwil seperti mie, yang pake jilbab (masih sedikit sekali) dan yang rajin bawa alkitab kemana-mana di dalam tasnya (yang ini seorang kawan di SMA).

Perhelatan Asian Games 2018 sejak kurang lebih sepekan terakhir ini, membuat saya terkenang masa kecil. Masa ketika semua orang terlihat sama, meski warna kulit, bahasa dan agama mereka berbeda. Masa ketika semua orang duduk manis menunggu tayangan Oshin di rumah masing-masing. Masa ketika semua anak bersorak bersama keluarga (dan bahkan tetangga satu RT), ketika Susi Susanti main bulutangkis, atau waktu Ajat Sudrajat dari Persib Bandung sedang mengocek bola.

Saya seperti menemukan masa kecil saya kembali.

Melihat Aprilia Manganang, atlet putri yang gagah perkasa, saya terkenang Herlina, teman di SMP/SMA, seorang Manado berambut kriwil, yang sering mencari-cari karpet kecil untuk sajadah saat kami salat di rumahnya.

Herlina yang dulu tak pernah bosan menyuruh saya dan teman-teman mengulang-ulang surat Al-Fatihah saat kami mau tes pelajaran Agama, hanya karena ia merasa "enakeun dengernya." Herlina seorang Katolik, dan masih Katolik hingga sekarang.

Melihat para atlet yang bergantian, berjuang di pelbagai cabang olahraga, saya terharu.

They are the real Indonesia.

Sudah puluhan kali Indonesia Raya dikumandangkan sejak Opening Ceremony, hingga setiap kali ada atlet yang meraih medali emas, dan saya tetap menahan haru, mengusap airmata yang selalu siap meluncur jatuh di ujung mata.

Saya tahu, yang saya rasakan, juga dirasakan oleh banyak orang lainnya. Euforia ini begitu khidmat dan langka. Momen-momen ini butuh dibekukan bersama waktu, diselipkan dalam lembar kenangan.

Maka tak perlu heran jika banyak muslim ikut berdoa demi kemenangan Ginting dan Jojo di cabang Bulutangkis. Banyak nonmuslim yang ikut terharu melihat pasukan panjat tebing, baik putra maupun putri melakukan sujud syukur sebagai selebrasi kemenangan.

Because regardless our color and belief, this mutual feeling is true.

Setiap hari saya selalu nimbrung di grup whassapp hanya untuk menanyakan jadwal pertandingan pada saat itu. Berita yang duluan saya klik adalah soal Asian Games. Tidak politik, tidak berita selebritis, tidak yang lain-lain. Semua bisa menunggu.

Saya jadi rajin menulis artikel olahraga, meski saya awam dengannya, dan tulisanpun masih sangat ecek-ecek. Saya banyak membaca hal-hal baru, yang sebelumnya saya tak tahu dan bahkan tak merasa ingin tahu. Banyak diskusi-diskusi olahraga yang saya ikuti sebab ternyata menyenangkan. Profil para atlet saya baca dan kagumi, sebab mereka berjuang sejak jauh-jauh hari. Menyiapkan fisik dan mental menuju pertandingan besar, yang mungkin hanya bisa saya bayangkan, tanpa pernah benar-benar tahu rasanya.

Maka saya terhanyut dalam kegembiraan ini, biarpun beberapa suara sumbang terus mengikuti. Suara orang-orang yang merasa saya tak patut bergembira ketika Lombok sedang berduka. Orang-orang yang selalu merasa bisa mengkotak-kotakkan perasaan dan pikiran orang lain, semau mereka sendiri. Mereka yang merasa, rasa simpati selalu harus ditampakkan, diumumkan, dan diberi label.  

Padahal hanya saya dan akun ini yang bisa mereka lihat, bukan diri saya sebenarnya, bukan hidup saya sesungguhnya. Padahal hanya Allah yang Maha Mengetahui setiap yang tersurat dan tersirat. Maka hati-hati selalu, dengan hatimu.

Dan pada akhirnya, setiap pertemuan pasti berujung perpisahan. Awal selalu diikuti oleh akhir. Tanggal 2 September nanti, ajang ini akan berakhir. Mungkin ia akan pergi meninggalkan saya yang termangu sedih, sebab takkan bisa lagi menantikan aksi para Spiderman dan Spiderwati, setidaknya hingga event olahraga besar berikutnya.

"Kemesraan ini janganlah cepat berlalu," kata Bang Iwan Fals. Setelah Asian Games 2018 berakhir, mungkin saya dan Anda akan kembali lagi ke ritme lini masa media daring sebelumnya. Membaca berita-berita terkini, menontoni orang-orang yang sibuk membela jagoannya, mencermati perang tiada akhir antara Vaccine Squad dan yang anti, begitu seterusnya.

Maka, esok hari, ketika Anda emosi karena mendapati kabar hoaks yang diposting sembarangan oleh orang yang boro-boro-minta-maaf-malah-nyolot, tinggalkan. Ingatlah masa ketika kita bergembira menyaksikan kemenangan Defia Rosmaniar yang berurai airmata setelah mendapat medali emas. Kenanglah saat kita terharu melihat Aries Susanti dan kawan-kawan berjuang di panjat tebing. Putar kembali rekaman otak kita ketika Ginting berjuang hingga titik akhir, dengan cedera di kaki.

Esok hari, saat dunia politik sudah begitu busuk sehingga Anda sulit bernapas karena mendapatinya di semua sudut, tinggalkan. Pergilah kembali mengunjungi situs-situs berita yang mengabarkan kemenangan Jetski, Paralayang, Dayung, Panahan, Bulutangkis, Pencak Silat, Karate dan lain-lain.

Ingatlah hari ini, saat mereka yang berlaga di Jakarta dan Palembang, telah meninggalkan kesan yang sangat membekas di hatimu.

Betapa semangat persaudaraan dan persatuan, adalah yang betul-betul kita butuhkan.

Bahwa olahraga tak hanya mengajarkan sportivitas, namun juga kelapangan hati untuk saling berbagi dan menyemangati. Saling mendoakan dan mengapresiasi.

Terima kasih Asian Games.

Ini indah.

Saya akan sangat rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun